BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Ecocriticism sebagai disiplin akademis
mulai digalakkan pada 1990-an, meskipun akarnya mulai 1970-an. Karena merupakan
wilayah studi baru, para sarjana masih terlibat dalam mendefinisikan ruang
lingkup dan tujuan subjek. Cheryll Glotfelty, salah satu pelopor di lapangan,
telah mendefinisikan ecocriticism sebagai "studi tentang hubungan antara
sastra dan lingkungan fisik," dan Laurence Buell mengatakan bahwa studi
ini harus "dilakukan dalam semangat berkomitmen terhadap praksis
lingkungan." David Mazel menyatakan itu adalah analisis sastra
"seolah-olah sifat penting." Studi ini, ia berpendapat, tidak dapat
dilakukan tanpa pemahaman yang tajam tentang krisis lingkungan dari zaman
modern dan dengan demikian harus memberitahukan tindakan pribadi dan politik;
itu, dalam rasa, bentuk aktivisme. Banyak kritikus juga menekankan sifat
interdisipliner penyelidikan, yang diinformasikan oleh ilmu pengetahuan
ekologis, politik, etika, studi perempuan, studi asli Amerika, dan sejarah, antara
bidang akademis lainnya. Istilah ini diciptakan pada tahun 1978 oleh William
Rueckert dalam esainya: Minat studi penulisan alam dengan membaca sastra
yang terfokus pada masalah "hijau" tumbuh di tahun 1980,
"Sastra dan Ekologi Sebuah Percobaan di Ecocriticism." Ecocriticism
awal 1990-an telah muncul sebagai suatu disiplin yang diperkenalkan
dalam departemen sastra universitas Amerika.
Beberapa kritikus berpendapat bahwa
tradisi Amerika menulis alam berasal dari karya Thoreau. Karya lain berupa
nonfiksi dari Amerika tentang alam Alam Ralph Waldo Emerson (1836).
Esai ini adalah pernyataan penulis tentang prinsip-prinsip filosofi
Transendentalisme, yang ia gambarkan sebagai "sebuah hipotesis untuk
menjelaskan alam dengan prinsip-prinsip lain daripada pertukangan dan
kimia." Dalam karya ini, Emerson berbicara tentang kesatuan mistis alam
dan mendesak para pembacanya untuk menikmati hubungan dengan lingkungan. Penulis
Amerika lain dari periode yang karyanya telah dilihat penting oleh
ecocritics termasuk William Cullen Bryant, James Kirke Paulding, James Fenimore
Cooper, Nathaniel Hawthorne, Walt Whitman, dan sejumlah kecil penulis yang
menulis cerita tentang Wild West.
Abad kesembilan belas Amerika dan
penjelajah naturalis sering didiskreditkan oleh ecocritics memprakarsai
gerakan konservasi. Para penulis ini berbeda dari "sastra" penulis
karena pekerjaan mereka lebih berfokus pada deskripsi ilmiah dan spekulasi
tentang alam. Namun, seperti banyak kritikus telah menunjukkan, tulisan-tulisan
mereka yang memiliki semangat puitis yang membuat ide-ide mereka diakses
pembaca awam. Dua hal besar pada abad kesembilan belas
naturalis Amerika, sebagian besar kritikus setuju, adalah John Burroughs dan
John Muir. Karya awal Burroughs itu dipengaruhi oleh Whitman, terutama
esai-esai yang dikumpulkan dalam Wake-Robin (1871) dan Burung
dan Penyair (1877) Setelah membaca Charles Darwin dan John Fiske, Burroughs
berbalik untuk spekulasi ilmiah tentang alam dan kemudian dalam kehidupan
mengambil pandangan yang lebih spiritual. Muir, yang berasal dari Skotlandia,
bepergian di Amerika Serikat dan didokumentasikan pengamatannya dalam ratusan
artikel dan sepuluh buku utama. Dia juga bekerja untuk mencegah kerusakan
lingkungan, dan dia dikreditkan bertanggung jawab untuk melestarikan
Lembah Yosemite di California, yang menjadi taman nasional kedua di Amerika
Serikat. Di Inggris, pada abad kesembilan belas, para penyair Romantis bereaksi
keras terhadap penekanan abad kedelapan belas pada alasan dan mencari cara baru
untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka.
William Wordsworth,
dianggap untuk menjadi juru bicara gerakan, merayakan keindahan dan
misteri alam di beberapa lirik yang paling terkenal, termasuk
"Michael" (1800), yang menggambarkan seorang gembala sederhana yang
sangat terikat dengan alam sekitarnya. Puisi Wordsworth otobiografi The
Prelude (1850) catatan pemahaman penyair berkembang alam, dan The
Excursion (1814) adalah refleksi filosofis yang panjang mengenai hubungan
manusia dan alam. Puisi Samuel Taylor Coleridge, John Keats, Lord Byron, dan
Percy Shelley juga mencakup deskripsi emosional dari alam dan fitur beberapa
ayat alam yang paling terkenal dalam bahasa Inggris. Shelley "Ode to Angin
Barat," untuk mengutip salah satu contoh, telah disebut puisi liris yang
paling terinspirasi menggambarkan alam dalam bahasa Inggris. Bunga Romantis di
alam sangat penting untuk ecocritics karena penyair revolusioner dalam politik
mereka, dan pelestarian alam adalah salah satu unsur pemikiran radikal mereka.
Seorang penyair romantis yang menggunakan pemahamannya alam untuk protes
terhadap mesin kapitalis baru adalah John Clare, yang, tidak seperti yang lain,
adalah dirinya sendiri buruh dan bekerja di darat. Kemudian abad kesembilan
belas catatan para penulis Inggris termasuk Thomas Hardy, yang dalam novel arti
tempat selalu mengambil tengah panggung, dan Matthew Arnold, yang cinta puisi
"Dover Beach" (1867) dikatakan menawarkan salah satu uraian terbaik
dari tempat di puisi Inggris.
Seperti kritikus telah menunjukkan,
salah satu alasan yang ecocriticism terus tumbuh sebagai suatu disiplin adalah
krisis lingkungan terus global. Ecocricism bertujuan untuk menunjukkan
bagaimana karya penulis peduli terhadap lingkungan dapat memainkan beberapa
bagian dalam memecahkan masalah ekologi nyata dan mendesak.
Munculnya ecocritisism diilhami oleh
pergerakan-pergerakan lingkungan modern. Diawali dengan gerakan lingkungan pada
tahun 1960-an karena kekhawatiran terhadap perubahan populasi dan kelangkaan
sumber daya alam. Rachel Carson mampu memanfaatkan gaya pastoral yang berarti
dalam terobosan "Silent Spring" nya (1962), yang sering dibahas oleh
berbagai ekokritiker. Meskipun demikian istilah
"ecocriticismbaru diciptakan pada tahun 1978 oleh William
Rueckert dalam esainya: Minat studi penulisan alam dan dengan membaca sastra
dengan fokus pada "hijau" masalah tumbuh di tahun 1980, "Sastra
dan Ekologi Sebuah Percobaan di Ecocriticism." Sementara itu Ecocriticism
sebagai disiplin akademis mulai digalakkan pada 1990-an, Ecocriticism memiliki
asosiasi untuk studi sastra dan lingkungan (ASLE) memiliki akses ke jaringan
internasional dengan berbagai konferensi, publikasi dan kursus. Asosiasi
ini berkembang di Jerman, Jepang, Inggris, dan korea yang telah
rutin menerbitkan tulisan tentang sastra lingkungan.Host
pertemuan asosiasi ini dilaksanakandua tahun sekali bagi para
sarjana yang berurusan dengan masalah lingkungan dalam literatur. ASLE
menerbitkan jurnal-Interdisipliner Studi Sastra dan Lingkungan (Isle)-di mana
beasiswa Amerika saat ini dapat ditemukan.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai
berikut:
(1)
Tentang
Ekokritik Sastra
(2)
Sasaran
Ekokritik Sastra
(3)
Jejak
Langkah Ekokritik Sastra
(4)
Ekokritik
Sastra Terapan
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Ekokritik Sastra
Ekokritik sastra tergolong baru dalam
kancah penelitian sastra. Jagad kritik sastra juga baru mengenal istilah
ekokritik, biarpun sejak lama konteks demikian sudah ada. Hal ini juga diakui
Garrad (2004:1-2), tokoh yang ikut meletakkan dasar ekokritik sastra. Dia
termasuk tokoh yang layak disebut bapak ekokritik sastra. Ekokritik sastra
cenderung menjadi pilar kritik sastra. Kritik sastra tentu berupaya memberikan
evaluasi sastra. Phillips (2003:1) berpendapat bahwa ekokritik sastra telah mencatat
sampai sekarang tentang sikap hidup manusia yang terlalu saleh terhadap alam.
Kesalehan ini tentu dapat menarik perhatian ekokritik sastra dan ekologi
sastra. Dalam pemahaman dia, para penulis sastra dan kritikus dianggap sering
bersekutu dalam pertahanan alam. Penulis sastra ingin menyuarakan alam,
kritikus mempertimbangkan suara alam secara evaluative. Langkah ekokritik
demikian juga dilakukan oleh Garrad (2004:3) yang bersikap tegas dan sopan,
bahwa secara umum tentang dorongan dari gerakan lingkungan modern yang mulai
berlangsung sejak tahun 1960-an. Sedangkan modus lain dari kritik politik dalam
karya sastra, seperti Marxisme, feminisme dan postkolonialisme, juga memiliki
asal-usul sebagai gerakan sosial baru di masa itu. Sejaks saat itu, arus utama
dalam sastra dan kajian budaya, telah ada (dan di beberapa kalangan) memiliki
resistensi yang cukup besar terhadap praktik ekokritik kritik yang berpusat
pada bumu.
Sebagian besar pandangan ekokritik
sastra mengakui, bahwa peran bahasa, budaya dan masyarakat dalam membentuk
persepsi manusia terhadap alam, adalah suatu relitas yang sulit dibantah. Maka
kontruksi budaya dan hubungan sosial juga sering memoles keadaan bisofer bumi
dalam lingkup studi sastra. Ekokritik sastra sering membuat seruan kepada pencipta
sastra. Dengan demikian mungkin juga akan terjadi pelanggaran atas kesenjangan
antara manusia dengan alam. Ekokritik sering mencurigai karya sastra secara
akademik, terutama bila berhadapan dengan karya-karya kecil (marginal).
Ekokritisme adalah aliran terbaru
pemahaman sastra. Banyak pihak memang yang masih meragukan hadirnya ekokritik
sastra. Ekokritik sastra adalah upaya memahami artefak budaya baik lisan maupun
tertulis. Kemampuan untuk menyelidiki artefak budaya dari perspektif ekologi
itu mulai mencuat kuas ketika Greg Garrad (2004:3), mulai mengenalkan lewat
berbagai artikel dan paper dalam berbagai seminar sastra. Ekokritik, adalah
perspektif kajian yang berusaha menganalisis sastra dari sudut pandang
lingkungan. Kajian ini berupaya mengamati bahwa krisis lingkungan tidak hanya
menimbulkan pertanyaan teknis, imiah dan politik, tetapi juga persoalan budaya
yang terkait dengan fenomena sastra. Upaya mengkaji sastra dari aspek
lingkungan secara kritis telah memunculkan disiplin yang relatif baru disebut
ekokritik sastra. Kebiasaan yang terjadi dalam ekokritik sastra adalah
mempresentasikan fenomena kultural, iklim, perubahan lingkungan dalam sastra.
Perubahan iklim, budaya, masa kepunahan
lingkungan, dan degradasi moral yang kompleks sering melekat pada teks,
sehingga menimbulkan tantangan bagi pengkaji ekokritik sastra, sehingga
menimbulkan tantangan bagi pengkaji ekoritik sastra. Teks-teks drama dan film,
biasanya banyak mengundang tantangan baru bagi pengkaji ekoritik sastra.
Kemunculan ekokritik sastra bukan
sensasi, melainkan menemukan terobosan pemahaman sastra. Patrick Murphy (Estok,
2001:229) pada tahun 1999 menulis: setiap departemen yang mendalami sastra
perlu diarahkan ke ecoritic dan
jajarannya. Salah satunya adalah hubungan antara sastra dan dunia (lingkungan)
masih terkesan sebagai menara gading. Sastrawan dan kritikus belum merasa
saling membutuhkan. Dengan hadirnya ekokritik sastra, kemungkinan besar akan
semakin dibutuhkan bahwa kehadiran kritik itu penting.
2.
Sasaran
Ekokritik Sastra
Sasaran ekokritik tentu spesifik, yaitu
karya yang bernuansa ekologi. Sasaran pokok ekokritik tentu perlu seleksi,
tidak asal karya sastra dikritik atas dasar ekokritik sastra. Yang perlu
diingat lagi bahwa ekokritik sastra adalah sebuah perspektif yang
mempertimbangkan aspek lingkungan ke dalam sastra.
Pada dasarnya alam memang selalu dekat.
Sastra dan alam butuh harmoni, agar
manusia dapat hidup enak. Ketika keharmonisan terganggu, alam bergejolak,
manusia akan gundah. Pada titik ini sastra akan angkat bicara. Itulah sebabnya
perspektif eko-ilmiah perlu digunakan untuk menelusuri karya sastra. Hal ini
mengingat kontemplasi sastrawan di alam sunyi seolah-olah sudah menjadi “lagu
wajib”. Dari realitas sastra, tidak sedikit karya yang memuja alam dan
lingkungan sekitarnya. Kadang-kadang sastrawan juga merasa iba terhadap suasana
ekologi. Dari tulisan Miah (2012:1-3) yang membahas puisi-puisi alam Wordsworth
cukup menarik disimak. Dia membahas puisi penyair besar ini menggunakan kacamata
eko-scienfifik. Menurut dia, banyak puisi yang melukiskan ilmu alam. Alam
semestinya menjadi guru ilmiah bagi manusia.
Dari zaman dahulu hingga dekade ini,
penyair, dramawan, dan fiksionis (cerpenis dan novelis) telah menggambarkan
alam dengan cara yang berbeda dalam karya-karya mereka. Kajian ekokritik
sastra, sejauh ini, telah menunjukkan aspek mistik, didaktik, dan filosofis
puisi alam Karya Wordsworth. Hal ini berarti bahwa lingkungan memang seorang
“guru natural” bagi pembaca . penyair hendak menanamkan ajaran dengan
mamanfaatkan refleksi alam. Memang harus diakui bahwa dalam konteks deforestasi
global dan degradasi lingkungan, pendekatan tradisional telah kehilangan pesona
untuk mengevaluasi puisi alam karya Wordsworth. Maksudnya, pendekatan baru yang
disebut ekokritik sastra amat diperlukan untuk mencermati puisi alam tersebut.
Yang dimaksud puisi alam adalah karya-karya yang menggunakan ekspresi alam semesta
sebagai tumpuan ekspresi.
Melengkapi puisi alam tampaknya memang
perlu semangat membaca dan mencintai lingkungan. Semangat ini penting bagi
seorang pengkaji ekokritik, agar wawasannya semakin jitu. Jadi, pendekatan baru
untuk penghakiman puisi memang sulit ditawar-tawar lagi. Maka tulisan ini
berupaya menggali lebih jauh ke dalam puisi alam karya Wordsworth dan
perspektif ekokritik. Perspektif ekokritik sastra diharapkan dapat menjembatani
generasi baru pembaca dan kritikus yang sudah mulai kehilangan semangat
membedah puisi dengan pendekatan tradisional.
Perlu diketahui, ekologi adalah ilmu
yang mempelajari efek dari peradaban modern terhadap lingkungan. Hal ini juga
berkaitan dengan masalah lingkungan dan kesadaran di kalangan umum dan dengan
demikian dapat membantu melestarikan keseimbangan ekologi. Kunci pokok dari
ekokritik juga pencapaian harmoni (keseimbangan). Harmoni dapat dicermati
melalui teks sastra. Disiplin ilmu ini masuk ke dalam dunia sastra ketika
kritikus cenderung untuk megevaluasi sebuah karya sastra dari perspektif
eko-ilmiah yaitu dengan menerapkan istilah “ekokritisme”. Artinya ekokritisme
itu akan menemukan harmonisasi antara sastra, manusia, dan alam semesta.
Harmonisasi adalah cita-cita hidup
manusia. Sastra menjadi wahana mencapai harmonisasi.
Untuk meneliti sebuah atau sepotong dengan
kriteria eco-ilmiah memang sudah saatnya. Perspektif ekokritik sastra merupakan
jalur alternatif studi analisis sastra dan lingkungan dari perspektif
interdisipiner. Dalam pandangan ini semua disiplin datang bersama-sama untuk
menganalisis lingkungan dan mencari tahu kemungkinan solusi untuk masalah
lingkungan saat ini terkait dengan sastra.
Dengan penerbitan dua karya penuntun
ekoritik sastra, keduanya diterbitkan pada pertengahan 1990-an berjudul The Eccocritisme Reader dengan editor
Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm serta Environmental
Imagination editor oleh Lawrence Buell ekokritisme mulai mendapat perhatian
banyak pihak. Lawrence Buell (Miah, 2012:4) orang yang pertama kali secara
resmi memunculkan istilah “ekokritisme”. Siapa yang pertama kali mencetuskan
pandangan ekokritisme perlu dicatat, namun yang lebih penting adalah bagaimana
menyuburkan pandangan itu. Yang jelas ekokritisme menawarkan pendekatan studi
yang luas dan diakui oleh sejumlah sebutan lain. Ekokritik sastra menyetujui
gagasan yang memiliki sasaran: (1) sebagai “studi budaya hijau”, (2) sebagai
bentuk eko-puisi untuk mengungkap kandungan harmoni alam dalam teks, dan (3)
sebagai kritik sastra yang bernuansa lingkungan. Dengan demikian pula
dinyatakan bahwa ekokritisme adalah studi tentang hubungan antara sastra dan
lingkungan fisik (Fromm, 1996: 18). Kajian ekokritik sastra dapat dikatakan
bahwa setiap karya sastra yang menggambarkan alam sebagai instrumen dengan
maksud memberikan pesan kepada pembaca dapat jatuh ke dalam kategori sepotong
ekokritik tulisan.
Dalam konteks ini, puisi-puisi William
Wordsworth dianggap memiliki kekuatan sebagai karya sastra yang sadar
lingkungan. Banyak puisinya yang memuat studi tentang hubungan antara sastra
dan lingkungan yang dilakukan dalam semangat komitmen untuk lingkungan praktis
(Buell, 1995:430). Karya sastra demikian berarti tepat menjadi garapan
ekokritik. Sastra yang peduli lingkungan akan mengajak pembaca semakin arif
atau ramah lingkungan.
3.
Jejak Langkah
Ekokritik Sastra
Menilisi jejak ekokritik sastra cukup
mengasyikkan. Ekokritik sudah berhasil memompa seluruh keinginan para pemerhati
sastra. Mereka umumnya penasaran dan ingin partisipasi dalam fenomena
ekokritik. Glotfelty dan Fromm (1996:1-2) menjelaskan panjang lebar tentang hakikat
ekokritisme. Ekokritisme yang ia bidik sebenarnya pembaca sastra. Pembaca
adalah penentu makna. Komunikasi sastra akan terjadi secara baik apabila
pengirim pesan, teks, dan pembaca bersinergi. Pembaca adalah orang yang patut
dipertimbangkan dalam kajian ekokritik. Bahkan dalam skala luas pembaca semakin
manarik kajian ekologi sastra. Menjelajahi hubungan antara sastra dan
lingkungan fisik, tetap harus dikaitkan dengan pembaca.
Ekologi sastra adalah studi tentang
cara-cara yang terkait dengan membaca dan menulis baik mencerminkan dan
mempengaruhi interaksi kita dengan alam. Pengantar buku Glotfelty dan Fromm
(1996:3) berjudul, “The Eccocticsm
Reader” mendefinisikan wacana sastra ekologi dan sketsa perkembangannya
sudah berlangsung selama seperempat abad terakhir. Dua puluh lima judul artikel
pilihan dalam buku ini, memuat campuran esai yang dicetak ulang berkali-kali.
Isi dari artikel itu mampu melihat ke belakang, tentang asal-usul dan menatap
ke depan untuk menemukan kecenderungan serta memberikan penjelasan menarik dan
gamblang dengan pendekatan ekologi sastra. Daftar bacaan yang direkomendasikan,
majalah yang relevan, dan organisasi profesional termuat dalam buku berharga
itu.
The Eccocriticsm
Reader adalah
bacaan representatif dan menjadi bidang studi sepenuhnya terlibat dengan
masalah kontemporer yang paling mendesak dalam krisis lingkungan global.
Artikel-artikel yang ditampilkan memuat pengenalan lapangan sebagai buku sumber
untuk mengkaji sastra ekologi. Buku ini juga mendefinisikan wacana ekologi
sastra, sketsa perkembangannya selama abad seperempat terakhir, dan memberikan
gambaran menarik dan gamblang serta contoh berbagi pendekatan ekologi sastra.
Selain itu, lewat buku ini juga mempertegas konsep ekokritisme. Secara
sederhana, ekokritisme adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sastra dan
lingkungan fisik. Sama seperti kritik feminisme meneliti bahasa dan sastra dari
perspektif sadar gender, dan kritik Marxis membawa kesadaran mode produksi dan
ekonomi suatu kelas untuk membaca teks, ekokritisme memanfaatkan pendekatan
bumi sebagai pusat studi sastra.
Bumi yang dimaksud adalah bumi hijau
yang sejuk. Bumi yang bagus adalah yang bersahabat. Secara simple, Glotfely
(1996:3) mwmbahas ekokritik dengan mengajukan beberapa pertanyaan terkait.
Dengan bumi dan lingkungan menurut dia, ekokritik dan teori ekologi sastra
terkait dengan pertanyaan: (1) Bagaimana alam di representasikan dalam karya
sastra?, (2) Peran ekologis apa yang dapat mengatur plot novel?, (3) Apakah
nilai yang dinyatakan dalam drama ini konsisten dengan kearifan ekologi?, (4)
Bagaimana makna metafora sastra yang terkait dengan tanah?, (5) Bagaimana kita
dapat mencirikan menulis alam sebagai genre?, (6) Selain ras, kelas, dan jenis
kelamin, harus menempatkan kategori kritis baru dalam ekologi sastra?, (7)
Apakah laki-laki menulis tentang alam berbeda daripada wanita?, (8) Dengan cara
apa manusia memiliki keaksaraan yang berhubungan dengan alam?, (9) Bagaimana
memiliki konsep padang gurun berubah dari waktu ke waktu?, (10) Dengan cara apa
dan untuk apa efek krisis lingkungan merembes ke dalam sastra kontemporer dan
budaya populer?, (11) Apa pemandangan alam menginformasikan laporan pemerintah,
iklan korporat, dan televisi dokumentar alam, dan untuk apa efek retoris?, (12)
Apa mungkin ilmu ekologi terfokus terhadap studi sastra?, (13) Bagaimana
ekologi itu sendiri terbuka untuk analisis sastra?
Ketiga belas pertanyaan itu
merupaka konsep penting bagi kajian
ekologi sastra. Lingkup kajian ekologi sastra yang dia tawarkan pantas
ditelusuri lebih dalam. Sastra dan lingkungan memang dua hal yang berbeda,
tetapi dapat dipadukan. Sastrawan adalah juru pemadu yang luar biasa. Sastrawan
memiliki daya imajinasi yang pantas dihormati. Biarpun Glotfelty (1996:1),
masih meragukan terus-menerus dengan lagu Tanya: “Mengapa begitu banyak fiksi
Amerika baru-baru ini menjadi mandul?” Yang dimaksud mandul, tentu terkait
melek lingkungan atau tidak. Sastrawan Indonesia, tentu saja boleh berbeda
dengan Amerika. Sastrawan Indonesia adalah
orang yang piawai dan tanggap terhadap lingkungan alam.
Yang menarik lagi adalah pengakuan
Glotfelty (1996), bahwa dirinya secara jujur, (1) menemukan dirinya setelah
membaca sedikit novel kontemporer dan cerita setiap tahun, (2) dia begitu
sering merasa bahwa karyanya yang paling dirayakan oleh para pakar sastra (baik
avant garde maupun pembentukan).
Dirayakan artinya selalu menjadi rujukan penting bagi pemahaman ekokritik
sastra. Hal ini seolah-olah dia memiliki kekuatan yang tumbuh dari penyihir
meracik mantra. Harus diakui memang beberapa kajian ekokritik atau ekologi
sastra di Indonesia pun berkiblat gagasan Glotfelty. Lewat gaya bertanya, dari
13 pertanyaan di atas pun, dia tampak sudah larut dalam konsep ekologi sastra.
Keadaan bumi yang tenang, akan
menyejukkan manusia. Bumi yang bergairah, akan memberikan manfaat penting bagi
hidup manusia. Maka sorotan sastra sering memperkuat keadaan bumi yang
fungsional. Glotfelty (1996:6) menyatakan bahwa artikel dia sudah banyak
memberikan inspirasi dan komentar berbagai pihak tentang ekokritisme sastra.
Dalam konteks ekokritik sastra, ketika penulis mengacu pada ‘kebutuhan hidup’
kita harus bertanya apa yang ia maksudkan dengan kehidupan. Kehidupan manusia
itu serba misteri. Dia mengusulkan bahwa ciri khas ‘hidup’ berarti memiliki
keinginan dan kemauan.
Dengan keinginan di bidang ekonomi dan
budaya berarti ada dua hal-hal yang mendukung konsepsi pikiran tentang
pelestarian lingkungan. Dia melihat langkah yang diambil untuk melestarikan
lingkungan sebagai tindakan untuk mencapai udara bersih. Itulah hidup,
keberadaannya di bumi entah bagaimana mengurusnya. Jika manusia mengurus
dirinya sendiri, lalu mengorbankan pihak lain, demi kebutuhan diri yang
berlebih-lebihan, seperti udara bersih, tetap kurang bagus. Apakah kita
menghilangkan kebutuhan hidup orang lain demi mencapai udara bersih, harus
dipertimbangkan. Dalam jejak langkah ekokritik sastra hal semacam ini akan
muncul dalam teks. Teks sastra tidak akan bisu terhadap keadaan lingkungan.
4.
Ekokritik Sastra
Terapan
4.1 Terapan Ekokritik Dalam Puisi
Puisi adalah karya yang paling akrab
dengan alam semesta, penyair seringkali menyenggamai alam. Mereka dengan amat suntuk menjadikan alam
sebagai media dan sekaligus ruh karya-karyanya. Dalam konteks puisi Indonesia,
D. Zawawi Imron (Mu’in, 2013:3) terlihat akrab dengan alam melalui sejumlah
puisinya. Salah satu puisinya yang berjudul “Pemandangan” dijadikan bahan
kajian dalam artikel ini:
Pemandangan
Karya: D. Zawawi Imron
Kubiarkan
bakau-bakau di rawa itu melanjutkan pesanmu,
Awan jingga, langit
jingga, angin jingga dan laut jingga
Riak air yang belas
padaku mengiba sepanjang lagu,
Dahan-dahan yang
sudah mati kembali menari-nari menyambut embunmu senjahari
Di tengah laut
namamu bermain cahaya, aku sangat ingin kesana
Tepi terasa dengan
sampan seribu tahun aku tak sampai
Dengan keharuan,
mungkin kah cukup satu denyutan?
1978
Dari perseptif teori Universe-nya
Abrams, puisi di atas dapat ditinjau dari 4 (empat) sudut pandang: ekspresif,
mimesis, obyek, dan pragmatis. Dua sudut pandang di antaranya, yakni: ekspresif
dan mimesis, digunakan untuk menanggapi puisi di atas. Sebelum menulis puisi,
dalam perspektif ekspresif, penyair tentu sudah memiliki ide atau gagasan yang
akan disampaikan melalui puisinya. Ide atau gagasan itu tentu dapat melalui
pengamanan terhadap lingkungan sekitarnya. Banyak hal yang telah dapat diamati.
Namun, dalam kaitan dengan puisi di atas, alam merupakan hal yang paling
manarik. Penyair ini menjadikan alam sebagai medium untuk menyampaikan
gagasannya kepada pembaca atau lawan tuturnya. Diksi yang digunakan berkaitan
dengan istilah-istilah alam untuk lingkungan pantai seperti bakau, laut, rawa,
awan, dahan, angin, air embun, senjahari, dan cahaya. Benda-benda ini seolah
sebagai makhluk hidup yang mampu berinteraksi dan sekaligus menyampaikan keluh
kesahnya kepada manusia.
Kajian yang dilakukan Mu’in (2013)
demikian sudah sangat tepat. Puisi yang dia hadapi secara kebetulan memang
jelas melukiskan alam. Penyair pun amat lembut melukiskan keadaan alam.
Pengkaji bebas memaknai puisi itu dapat ditinjau dari pespektif apa pun. Maka
tidak salah apabila secara umum, puisi di atas berbicara tentang pemandangan di
pantai yang dihadirkan dengan penutur tunggal. Secara khusus puisi itu
menceritakan bagaimana dia (penutur) tersebut berinteraksi dengan alam “Kubiarkan bakau-bakau di rawa itu
melanjutkan pesanmu”, seolah penutur ini mengetahui bahwa bakau-bakau yang
telah rusak itu meminta bantuan kepadanya dan manusia umumnya untuk memelihara
bakau-bakau itu. “Riak air yang belas
padaku mengiba sepanjang lagu….” Menyiratkan bahwa air laut pun tidak
tinggal diam, yang dengan riaknya meminta agar manusia memelihara hutan bakau,
bukan membiarkan atau bahkan merusaknya.
Secara mimesis, puisi ini merefleksikan
adanya banyak kerusakan alam. Secara faktual, kerusakan alam terjadi di
mana-mana. Pembabatan hutan secara liar terjadi dengan maraknya. Kebakaran
hutan selalu menghiasi bumi pertiwi di kala kemarau tiba; sebagai akibatnya
kesediham dan kesengsaraan menimpa sebagian anak negeri. Penyakit ISPA
(inspeksi saluran pernapasan) merepa dinding-dinging alat pernapasan di dalam
dada mereka. Hutan bakau yang juga penting bagi keseimbangan ekologi pantai,
juga mengalami kerusakan. Rusak karena sengaja atau tidak sengaja. Rusak karena
sengaja sering terjadi; hutan bakau diganti dengan bangunan demi keuntungan
ekonomi. Rusak karena ketidaksengajaan manusia-manusia di sekitarnya yang tidak
memiliki kepedulian terhadap hutan bakau. Pemandangan di pantai yang seharusnya
indah, mulai kehilangan keindahannya dan kesejukannya.
Dari sudut pandang mimesis, puisi yang
berjudul pemandangan dapat dikatakan sebagai refleksi dari lingkungan alam yang
mulai rusak. Secara ekokritik, penyair puisi ini mengetahui bahwa lingkungan
alam, khsususnya pantai dengan segala aspeknya, banyak mengalami kerusakan.
Kerusakan lingkungan alam ini dapat disebabkan karena adanya pembiaran oleh
manusia, atau justru karena adanya perusakan oleh manusia secara sengaja;
misalnya hutan bakau itu di babat untuk kepentingan pembangunan. Kerusakan alam
akibat perlakuan manusia dengan cara ini mengacu pada kerusakan alam. Sedangkan
kerusakan alam yang kesengajaan dapat saja akibat adanya pembiaran lingkungan
alam; manusia yang di sekitar lingkungan alam itu tidak melakukan pemeliharaan
terhadap lingkungan alam. Baik kerusakan lingkungan alam akibat kesengajaan
maupun tanpa kesengajaan, fakta yang ada di mana-mana menunjukkan bahwa banyak
lingkungan alam mengalami kerusakan.
4.2 Terapan Ekokritik Dalam Cerpen
Cerpen itu karya yang pendek, dibaca
sekali duduk selesai. Cerpen termasuk karya yang sering peduli lingkungan. Banyak
cerpen yang memuat tokoh-tokoh pemerhati dan perusak lingkungan. Cerpen yang
melukiskan lingkungan sudah amat banyak. Maka kajian ekokritik sastra terhadap
cerpen jauh lebih menarik. Dewi (2015:1) sudah mencoba meneliti cerpen
menggunakan ekokritik sastra. Cerpen-cerpen Indonesia yang dia baca, ternyata
banyak menyuarakan konteks ekologis. Menurutnya, memang cocok menerapkan
ekokritik sastra dalam sebuah cerpen, sebab ekokritik sastra sudah semakin
subur. Di beberapa Perguruan Tinggi yang mengelola sastra memang sudah mulai
ada yang membuat skripsi, tesis, dan disetasi menggunakan kaca pandang
ekokritik sastra. Keadaan ini memang sangat menggembirakan, sebab jagad
ekokritik akan segera dikenal secara halus.
Kajian ekokritik banyak memahami kondisi
lingkungan. Yang dimaksud lingkungan adalah eksistensi bumi. Bumi diduga sudah
mengalami krisis ekologis. Krisis ekologi dan dampak pencemaran lingkungan
makin mencengkram perhatian dunia saat ini, perilaku manusia terhadap alam dan
eksploitasi besar-besaran terhadapnya telah mendorong dunia menuju keruskan
ekologis yang berkepanjangan sekaligus mengancam keberlangsungan hidup manusia
itu sendiri. Lebih-lebih jika diperhitungkan dimensi sosial-ekonomi dan
konsekuensi psikologis dari krisis lingkungan tersebut, tampak nyata bahwa kaum
miskinlah yang paling dirugikan. Indonesia, misalnya merupakan salah satu
negara yang didera krisis ekologi akibat pembalakan hutan dan polusi air.
Sayang sekali kajian sastra tentang
lingkungan hidup di Indonesia masih terbatas karena hal ini berkaitan dengan
ketebatasannya pula karya sastra bersperspektif ekologi. Terdapat berbagai
imajinasi alam di dalam karya sastra. Kritik lingkungan hidup merupakan
representasi yang paling radikal dibandingkan dengan pujian terhadap keindahan
alam seperti dalam puisi atau novel beraliran romantisme ataupun hujatan atas
kekejaman alam (terhadap manusia) yang tampak pada karya sastra bermazhab
naturalisistis-realis/deterministis.
Dalam cerita pendek “Kering” karya Wa Ode Wulan Ratna (2006), pembalakan hutan di
Pekanbaru menjadi persoalan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh dalam cerita
tersebut. Suryaningsih (2013) membaca dominasi patriarki atas alam dan
perempuan pada cerpen ini. Penelitian Wiyatmi (2014) atas novel Amba karya
Laksmi Pamuncak, misalnya menunjukkan bahwa eksploitasi yang dilakukan rejim
pemerintah (Orde Baru) tidak hanya berdimensi politisi tetapi juga ekonomis dan
kapitalis, di mana kakayaan alam Pulau Buru seperti tambang minyak, pohon kayu
putih dan yang lainya menjadikan pulau tersebut surga bagi para investor asing.
Melalui pembacaan ekokritik, terlihat ada wilayah ekonomi-politik yang disembunyikan
dibalik penggambaran Pulau Buru yang sengaja dikontruksikan oleh penguasa.
Pembacaan berwawasan lingkungan semacam ini amat diperlukan untuk memperkaya
kajian sastra tanah air.
4.3 Terapan Ekokritik Dalam Novel
Novel adalah fiksi yang banyak
melukiskan lingkungan. Tak ada novel yang tidak terkait dengan lingkungan. Novel
absurd pun tetap terkait dengan lingkungan. Oleh sebab itu ekokritisme tepat
diterapkan untuk memahami novel. Quick (2004:1) menyatakan bahwa ekokritisme
adalah istilah umum untuk analisis sastra diinformasikan oleh ekologi atau
kesadaran lingkungan (Marshall). Novel banyak menampilkan lingkungan yang
pantas dibaca dengan sadar ekologis. Hal ini berarti pengkaji ekokritik novel
akan mempelajari hubungan antara sastra dan alam melalui berbagai pendekatan
memiliki sedikit kesamaan selain keprihatinan bersama dengan lingkungan.
Novel Anak Bajang Mengiring Angin karya Sindhunata, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Tour,
Donyane Wong Culika karya Suparta
Brata, layak dibedah dari ekokritik sastra. Ekokritisme paling tepat diterapkan
untuk karya-karya novel agar terungkap berbagai pendidikan karakter. Ketika
interaksi yang signifikan terjadi antara penulis dan tempat, karakter dan
tempat akan selalu hadir secara estesis. Landscape dengan definisi mencakup
unsur-unsur non-manusia tempat-batuan, tanah, pohon, tanaman, sungai, hewan,
air-serta manusia persepsi dan modifikasi sering menjadi tumpuan novelis berimajinasi.
4.4 Terapan Ekokritik Sastra Lisan
Sastra lisan adalah karya yang anonym,
tetapi tetap bermakna. Sastra lisan. Sastra lisan seperti halnya pantun
(parikan), wangsalan, dongeng, seringkali dipadukan dalam bentuk folklore.
Bartlett (Ahmadi, 2012:1) menyatakan, pada
dasarnya sastra lisan adalah sastra yang didengarkan. Permainan pantun
atau berbalas pantun sering mengungkapkan lingungan sekitarnya. Eko-sastra
lisan akan menjawab segala hal yang terkait dengan kelisanan. Puisi lisan
seperti teka-teki; bapak pocung pasar
mlathi kidul Denggung, kricak lor Negara, pasar gedhe loring Loji menggok
ngetan kesasar neng Gandamanan. Lagu lisan ini melukiskan lingkungan
topografi di wilayah Yogyakata.
Eco-sastra lisan dapat diterapkan pada
aneka ragam sastra lisan. Sastra lisan yang berkembang luas di negeri ini
adalah pantun. Pantun kentrung misalnya, menurut Hutomo (1993:1) banyak
menawarkan halihwal kejadian lingkungan. Daya kritis seorang pelantun kentrung,
sering mengkritisi keadaan lingkungan. Djojosuroto (2013:87) sudah mengkaji
pantun Menado dikaitkan dengan ekokritik sastra. Dia mencoba menggali
pesan-pesan tersembunyi dalam pantun. Menurutnya, prinsip-prinsip eko-sastra
memuat konsep: (1) Eco-sastra adalah karya sastra yang berbicara dan berdiskusi
tentang bumi, alam, dan lingkungan, (2) Eco-Sastra adalah karya sastra (puisi
dan prosa) yang memberikan pemahaman bagi pembaca untuk tidak membuang sampah
sembarangan, (3) Eco-sastra baik puisi atau prosa sastra yang memberikan
kesadaran kepada setiap pembaca untuk mencintai bumi dengan sepenuh hati, dan
(4) Eco-sastra adalah karya sastra yang mengimbau setiap warga dunia untuk
melestarikan alam dan isinya untuk pelestarian bumi.
Prinsip tersebut amat penting dipegang
teguh ketika hendak mengkaji sastra dari perspektif ekokritik sastra. Yang
paling urgen bahwa eko-sastra adalah karya sastra puisi (lisan) yang banyak
memuat pesan bumi dan lingkungan. Maskud pantung demikian adalah memberi
pengertian kepada pembaca agar bertindak bijak pada bumi dan lingkungan.
Contoh
lain dari pantun kerusakan alam:
Kalau ingin melanglang buana
jangan memandang fatamorgana
lingkungan rusak dimana-mana
kesadaran manusia hanya wacana
jangan memandang fatamorgana
lingkungan rusak dimana-mana
kesadaran manusia hanya wacana
Meskipun
dirusak, tetapi bumi selalu diproduksi untuk tanaman, produk pertambangan untuk
kesejahteraan manusia. Meski selalu di cukur dan isi tubuhnya yang diambil, bumi
selalu memberikan manfaat dan keindahan. Hal ini tidak mudah untuk mengubah
kebiasaan yang telah membantu. Namun, kami dapat secaraa bertahap mengasah
kepekaan kami baik melalui puisi atau prosa dan eco-literatur.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, dapat
dirumuskan bahwa kritik sastra ekokritik menjadi lahan subur bagi peneliti dan
akademisi untuk mengkaji sastra dan lingkungan di Indonesia. Lebih spesifik
simpulan makalah ini adalah sebagai berikut.
Pertama, pandangan William Rueckert (1978) sebagai pelopor teori
ekokritik yang bermula dari esainya berjudul ―Literature and Ecology: an
Experiment in Ecocriticism‖ yang memperkenalkan teori ekologi dalam kaitannya
dengan karya sastra. Teori ekologi menurut Rueckert adalah sebagai sains, satu
disiplin, asas pandangan manusia yang mempunyai hubungan yang penting di masa
kini dan masa dunia, termasuk disiplin ilmu lainnya. Para pemikir utama
ekokritik tersebut dapat diserap gagasan tentang diskursus dan implikasinya
dalam kritik atas manusia dan lingkungannya. Meskipun diketahui bahwa pemikiran
ekokritik yang dikemukakan oleh Buell (1995) hampir sama dengan definisi
Glotfelty dan Fromm (1996), tetapi Buell lebih menekankan pada kritik terhadap
alam sekitar. Hasil kajian Rueckert (1978) dan Love (1996; 2003) lebih
menghadirkan sastra dan wujud lingkungan fisik, baik sebagai sains--udara,
tanah, angin, hutan—disiplin ilmu lainnya, makhluk binatang maupun pertumbuhan
manusia itu sendiri dengan lingkungannya. Pandangan Garrad (2004) lebih
menekankan konsep lingkungan yang tampak mata dan kerusakan lingkungan akibat
manusia dan alam itu sendiri. Kedua,
paradigma ekokritik lebih berorientasi pada kerusakan atau krisis ekologi; ekologi
yang terpusat pada organisme atau spesies yang menyesuaikan dengan lingkungan
dan pada kelompoknya (hubungan manusia dengan manusia serta alam); konsep
makhluk hidup yang berinteraksi dengan makhluk lainnya dalam suatu lingkungan;
dan berpandangan pada etika antroposentrisme. Paradigma kajian ekokritik dapat
ditelisik melalui karya sastra yang berhubungan dengan alam/lingkungan. Ketiga, sebagai metode dan praktik pembacaan
teks sastra, ekokritik dapat diterapkan dengan metode interdisipliner yang dapat
dikaitkan dengan bidang ilmu lainnya, misalnya teori ekologi melahirkan teori
romantisme, teori ekologi dan ilmu politik menjadi ekopolitik (ecopolitics),
teori ekologi dan teori kapitalisme menjadi ekokapitalisme (ecocapilism), teori
feminisme dan teori sastra menjadi ekofeminisme (ecofeminism), teori
poskolonial dan teori ekokritik menjadi poskolonial ekokritik (postcolonial
ecocricism atau ecoimperalism), dan teori ekologi dan teori tanggapan pembaca
melahirkan toei ekoresepsi pembaca. Metode dan praktik kritik ekokritik dapat
pula diterapkan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan wacana dan
pendekatan realita. Keempat, teori
ekokritik dapat diberlakukan dengan teori representasi dalam relasinya dengan
kajian sastra. Representasi teori ekokritik yang dikemukakan oleh para pakar
ekokritik bahwa studi sastra dan ekologi sebagai sebuah interdisiplin ilmu yang
memungkinkan untuk menganalisis lingkungan dan mencari solusi dari persoalan
ekologi dalam konteks kesusastraan. Oleh karena itu, adanya kritik sastra
ekologi dapat dipahami sebagai bagian pembacaan kritis dan formula kritik
sastra di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. 2016. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan
Penerapannya. Yogyakarta: CAPS.
Endraswara,
Suwardi (Ed.). 2016. Sastra Ekologi: Teori dan Praktik Pengkajian. Yogyakarta:
CAPS.
Garrad.
Greg. 2004. Eccocritism. London and
New York: Routledge, 2004. ISBN 0-415-19672-2. Kate Rigby, Monash University.
Harsono,
Siswo. 2008. “Ekokritik: Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan” Semarang: Kajian
Sastra; Jurnal Kebahasaan dan Kesusastraan.
steel - titanium hammer
BalasHapusIron, platinum and zinc oxide. Copper. 0.0 inches. babyliss nano titanium flat iron 10 ounces. titanium bikes for sale Iron, platinum and zinc oxide. 0.0 inches. 10 ounces. Silver. 0.0 titanium alloy nier replicant inches. 10 ounces. used ford edge titanium Aluminum. 0.0 inches. titanium nail 10 ounces.