BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berbicara tentang filsafat ilmu, pasti akan menjumpai istilah epistimologi, sebab manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja, Akan tetapi manusia juga memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan di lingkungan sekitar mereka. Dalam upaya untuk memperoleh informasi, manusia seringkali melakukan komunikasi ataupun cara-cara lain yang bisa digunakan. Salah satu informasi yang didapat dari komunikasi adalah pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan. Dalam mencari pengetahuan, tak jarang manusia harus mempelajari Epistemologi. Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan karena mengkaji seluruh tolak ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan.
Dari sebab itu, dalam kesempatan ini kami akan membahas tentang “Epistemologi Ilmu” secara ringkas, dengan harapan agar mudah di pahami dan dimengerti.
Berbicara tentang filsafat ilmu, pasti akan menjumpai istilah epistimologi, sebab manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja, Akan tetapi manusia juga memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan di lingkungan sekitar mereka. Dalam upaya untuk memperoleh informasi, manusia seringkali melakukan komunikasi ataupun cara-cara lain yang bisa digunakan. Salah satu informasi yang didapat dari komunikasi adalah pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan. Dalam mencari pengetahuan, tak jarang manusia harus mempelajari Epistemologi. Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan karena mengkaji seluruh tolak ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan.
Dari sebab itu, dalam kesempatan ini kami akan membahas tentang “Epistemologi Ilmu” secara ringkas, dengan harapan agar mudah di pahami dan dimengerti.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
a. Apa itu Epistemologi?
b. Bagaimana cara kerjanya?
c. Macam-macam Epistemologi
d. Mengapa Epistemologi perlu dipelajari?
e. Metode apa yang ada di dalam epistemologi?
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Memahami arti dari Epistemologi
b. Mengetahui kinerja Epistemologi
c. Mengetahui berbagai jenis Epistemologi
d. Mengetahui seberapa penting memahami Epistemologi
e. Mengetahui metode-metode Epistemologi
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Epistemologi
Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani Episteme dan Logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan Logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Secara etimologi Epistemologi dapat diartikan, teori pengetahuan yang benar, dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi Theory of Knowledge.
Epistemologi (ma’rifah) dalam bahasa Arab mempunyai banyak penggunaan, tetapi lazimnya berarti pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan informasi. Adakalanya digunakan dalam arti pencerahan khusus (idrak juz’i/ particular perception), kadang-kadang juga dipakai dalam arti ilmu yang sesuai dengan kenyataan dan melahirkan kepastian dan keyakinan. Pengetahuan yang menjadi pokok bahasan epistemologi boleh jadi mempunyai salah satu pengertian tersebut atau pengertian lainnya. Pembahasan mengenai epistemologis tidak terbatas pada satu jenis pengetahuan. Konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan nyata (badihi/ self-evident). Epistemologis dapat didefinisikan sebagai “bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenaran.”
Teori epistemologi bertalian erat dengan persoalan idea. Menurut Plato pengetahuan (ma’rifah) tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya apabila pancaindera kita berhadapan dengan sesuatu, maka teringatlah kita akan contoh-contohya (mutsul), dan muncullah kembali pengetahuan yang kita peroleh sewaktu kita masih hidup dalam suatu alam, dimana kita dapat melihat ide yang azali dengan jalan pengabstrakan terhadap gambaran-gambaran dari wujud-wujud inderawi.
Epistemologi (ma’rifah) dalam bahasa Arab mempunyai banyak penggunaan, tetapi lazimnya berarti pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan informasi. Adakalanya digunakan dalam arti pencerahan khusus (idrak juz’i/ particular perception), kadang-kadang juga dipakai dalam arti ilmu yang sesuai dengan kenyataan dan melahirkan kepastian dan keyakinan. Pengetahuan yang menjadi pokok bahasan epistemologi boleh jadi mempunyai salah satu pengertian tersebut atau pengertian lainnya. Pembahasan mengenai epistemologis tidak terbatas pada satu jenis pengetahuan. Konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan nyata (badihi/ self-evident). Epistemologis dapat didefinisikan sebagai “bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenaran.”
Teori epistemologi bertalian erat dengan persoalan idea. Menurut Plato pengetahuan (ma’rifah) tidak lain adalah pengingatan kembali, artinya apabila pancaindera kita berhadapan dengan sesuatu, maka teringatlah kita akan contoh-contohya (mutsul), dan muncullah kembali pengetahuan yang kita peroleh sewaktu kita masih hidup dalam suatu alam, dimana kita dapat melihat ide yang azali dengan jalan pengabstrakan terhadap gambaran-gambaran dari wujud-wujud inderawi.
Dan karena epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan Tentang “bagaimana kita mendapatkan pengetahuan?” sehingga untuk memperoleh jawabannya, kita harus terlebih dahulu mengetahui sumber pengetahuannya dan tentang terjadinya pengetahuan maupun asal mulanya pengetahuan. Dan harus menggunakan metode ilmiah sehingga pengetahuan itu dapat dipastikan kebenaranya.
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal yang dapat diandalkannya penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. (Alfons Jaryadi, 1991:16). Sedangkan menurut Amsal Bakhtiar dalam (Filsafat Ilmu, 2004:148) Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaiannya dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya. Para filsuf pertama di Barat, kaum pra-Sokrates terutama mencurahkan perhatian pada masalah perubahan dan kemungkinan perubahan. Mereka menerima begitu saja bahwa manusia bisa mengenal hakikat benda (nature), meskipun beberapa diantara mereka menyarankan, beberapa sumber tertentu lebih jitu daripada sumber yang lain dalam memperoleh pengenalan tentang kenyataan. Misalnya, Heraclitus menekankan penggunaan indera (sense), sedangkan Parmenides mengutamakan penggunaan akal. Tetapi kedua-duanya percaya bahwa pengenalan itu sendiri mungkin. Barulah pada abad ke-5 SM keraguan mengenai hal itu terutama dibangkitkan oleh kaum Sophis. (Alfon Jaryadi, 1991:17).
2. Bagaiamana cara kerjanya
Bicara tentang cara kerja atau metode pendekatan epistemologi berarti bicara tentang ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Pengetahuan bukan hanya menjadi objek kajian ilmu filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu lain, seperti ilmu psikologi kognitif dan sosiologi pengetahuan. Yang membedakan ilmu filsafat secara umum dari ilmu-ilmu lain bukanlah objek materialnya atau apa yang dijadikan bahan kajian, tetapi objek formal atau cara pendekatannya:bagaimana objek yang dijadikan bahan kajian itu didekati. Ciri khas cara pendekatan filsafat terhadap objek kajiannya tampak dari jenis pertanyaan yang diajukan dan upaya jawaban yang diberikan. Filsafat berusaha secara kritis mengajukan dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum, menyeluruh, dan mendasar. Filsafat berusaha secara kritis mengajukan dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum, menyeluruh dan mendasar. Filsafat bermaksud secara kritis menggugat serta mengusik pandangan dan pendapat umum yang sudah mapan. Bukan sekedar cari perkara, tetapi guna merangsang orang untuk berfikir secara lebih serius dan bertanggung jawab. Tidak asal menerima pandangan dan pendapat umum. Juga dalam hal pengetahuan. Misalnya kalau pengetahuan secara umum dianggap sama dengan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan dianggap identik dengan sains, maka lingkup pengetahuan, dan ilmu pengetahuan dianggap identik dengan sains, maka lingkup pengetahuan manusia menjadi dipersempit. Penyempitan paham pengetahuan seperti ini, sebagaimana terjadi dengan paham saintisme, jelas telah dan akan mempermiskin kekayaan budaya manusia dan perlu ditanggapi dengan kritis.
Seperti sudah tersirat dari rumusan pengertian tentang apa itu epistemologi yang diberikan di atas, pertanyaan-pertanyaan filosofis yang bersifat umum dan mendasar dalam hal pengetahuan misalnya: Apa itu pengetahuan? Apa ciri-ciri hakikinya dan mana batas-batas ruang lingkupnya? Apa beda antara pengetahuan dan pendapat? Apa beda antara pengetahuan dan kepercayaan? Bagaimana proses manusia mengetahui dapat dijelaskan dan bagaimana struktur dasar budi atau pikiraran manusia itu bisa dijelaskan sehingga pengetahuan itu mungkin bagi manusia? Apa peran imajinasi, intropeksi, intuisi, ingatan, persepsi indrawi, konsep, dan putusan dalam kegiatan manusia? Apa arti dimana tolak ukurnya untuk dapat secara rasional dan bertanggungjawab menyatakan bahwa “saya tahu sesuatu”? Sungguhkah manusia dapat tahu? Bukankah sering terjadi bahwa orang merasa dirinya yakin tahu tentang sesuatu, tetapi tetap keliru? Mengapa manusia dapat keliru? Apa itu kepastian dan keraguan? Apa itu kebenaran, dan manakah tolak ukurnya? Apakah kebenaran sama dengan objektivitas? Dapatkah kita mengetahui objek pada dirinya? Bukankah kita hanya dapat mengetahui suatu objek sejauh tampak pada kita dan dapat kita tangkap? Apa hubungan antara pengetahuan dan bahasa, pengetahuan dan kebudayaan? Adakah hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan? Kalau ada, bagaimana hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan dapat dijelaskan? Itulah beberapa pertanyaan pokok, dan masih banyak lain lagi, yang selama ini telah menyibukkan para epistemolog dari masa ke masa. Para epistemolog dari masa ke masa, sesuai dengan permasalahan pokok zamannya, masing-masing mencoba menggeluti salah satu atau beberapa pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas.
3. Macam-macam Epistemologi
Berdasarkan cara kerja atau metode pendekatan yang diambil terhadap gejala pengetahuan bisa dibedakan beberapa macam epistemologi. Epistemologi yang mendekati gejala pengetahuan dengan beritik tolak dari pengandaian metafisika tertentu disebut Epistemologi Metafisis. Epistemologi macam ini berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Misalnya Plato meyakini bahwa kenyataan sebagaimana kita alami di dunia ini adalah kenyataan yang fana dan gambaran kabur saja dari kenyataan dalam dunia ide-ide, sedangkan kenyataan sebagaimana kita alami di dunia ide-ide. Bertitik tolak dari paham tentang kenyataan seperti itu, Plato dalam epistemologinya memahami kegiatan mengetahui sebagai kegiatan jiwa mengingat (anamnesis) kenyataan sejati yang pernah dilihatnya dalam dunia ide-ide. Plato juga lalu secara tegas membedakan antara pengetahuan (episteme), sebagai sesuatu yang bersifat objektif, universal dan tetap tak berubah, serta pendapat (doxa), sebagai suatu yang bersifat subjektif, partikular dan berubah-ubah. Kesulitan yang muncul dengan pendekatan macam ini adalah bahwa epistemolog metafisis secara tidak kritis begitu saja mengandaikan bahwa kita dapat mengetahui kenyataan yang ada, dialami dan dipikirkan, serta hanya menyibukkan diri dengan uraian tentang seperti apa pengetahuan macam itu dan bagaimana diperoleh. Selain itu, metafisika atau pandangan dasar tentang kenyataan secara menyeluruh yang diandaikan oleh epistemologi metafisis sebagai titik olak, sendiri merupakan jenis pengetahuan yang kontroversial.
Macam epistemologi yang kedua adalah Epistemologi Skeptis. Dalam epistemologi macam ini, sepeti misalnya dikerjakan oleh Descartes, kita perlu membuktikan dulu apa yang kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pendekatan ini adalah apabila orang sudah masuk sarang skeptisme dan konsisten dengan sikapnya, tak gampang menemukan jalan keluar. Apalagi seluruh kegiatan epistemologi sendiri sebenarnya sejak awal telah mengandaikan bahwa ada pengetahuan dan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu. Memang pengetahuan yang diandaikan itu belum selalu terjamin kebenarannya, sebab bisa betul, tetapi bisa juga keliru. Pengetahuan yang diandaikan itu memang masih perlu diandaikan bahwa ada kebenaran dan bahwa manusia dapat mengenalinya. Sama sekali meragukannya akan membuat seluruh penyelidikan tentang pengetahuan tidak mungkin dilakukan atau sia-sia. Descrates sendiri, seperti masih akan kita lihat lebih jauh kemudian, memang bukan seorang penganut skeptisme mutlak atau orang yang sama sekali meragukan segala sesuatu, justru dengan maksud agar dapat sampai ke kebenaran yang tak dapat diragukan lagi. Ia menolak argumen untuk membuktikan kebenaran pengetahuan berdasarkan otoritas (keagamaan) sebagaimana biasa dilakukan pada Abad Pertengahan dan mendasarkan diri pada daya terang akal budi manusia.
Macam epistemologi yang ketiga adalah epistemologi kritis, epistemologi ini tidak memprioritaskan metafisika atau epistemologi tertentu, melainkan berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun asumsi, prosedur, dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, lalu kita coba tanggapi secara kritis asumsi, prosedur dan kesimpulan tersebut. Keyakinan-keyakinan dan pendapat yang ada kita jadikan data penyelidikan atau bahan refleksi kritis untuk kita uji kebenarannya dihadapan pengadilan nalar. Sikap kritis diperlukan untuk pertama-tama berani mempertanyakan apa yang selama ini sudah diterima begitu saja tanpa dinalar atau tanpa dipertanggungjawabkan secara rasional, dan kemudian mencoba menemukan alasan yang sekurang-kurangnya masuk akal untuk penerimaan atau penolakannya.
Selain itu macam epistemologi berdasarkan titik tolak pendekatannya, secara umum berdasarkan objek yang dikaji, epistemologi juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni epistemologi individual dan epistemologi sosial. Epistemologi sebagaimana secara klasik dimengerti sampai sekarang adalah epistemologi individual. Kajian tentang pengetahuan, baik tentang status kognifitifnya maupun proses pemerolehannya, dianggap sebagai dapat didasarkan atas kegiatan manusia individual sebagai subjek penahu terlepas dari konteks sosialnya. Dalam epistemologi individual, kajian tentang bagaimana struktur pikiran manusia sebagai individu bekerja dalam proses mengetahui, misalnya dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan bagaimana semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Dalam mengembangkan epistemologi individual, filsafat pengetahuan dapat da perlu memanfaatkan sumbangan yang diberikan oleh ilmu psikologi kognitif. Evistemologi evolusioner (evolutionary epistemology) atau kadang juga disebut epistemologi alami (natural epistemology) termasuk jenis epistemologi individual. Tetapi belakangan ini, epistemologi alami juga dikembangkan dalam perspektif epistmologi sosial. Sedangkan epistemologi sosial adalah kajian filosofi terhadap pengetahuan sebagai data sosialogis. Bagi epistemologi sosial, hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial dipandang sebagai faktor-faktor yang amat menentukan dalam proses, cara, maupun pemerolehan pengetahuan. Dalam upaya ini filsafat perlu memperhatikan apa yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam kajiannya mengenai sistem-sistem sosial dan kebudayaan, khususnya dalam melihat dampak pengaruhnya bagi pengetahuan manusia.
4. Mengapa Epistemologi perlu dipelajari
Setelah memperoleh pengertian tentang apa itu Epistemologi, kini pantas kita tanyakan mengapa hal seperti itu masih perlu dipelajari. Namun, sebelum menjawab pertanyaan ini, kiranya lebih dahulu ditanggapin pertanyaan Ricard Rorty bahwa epistemologi dewasa ini sudah mati dan tidak ada relevansinya lagi untuk dihidupkan kembali. Pernyataan ini perlu ditanggapin lebih dulu, sebab seandainya pernyataan tersebut benar, maka memang tidak ada gunanya lagi mempelajari epistemologi. Marilah kita periksa argumentasi yang dikemukakan Rorty untuk mendukung pernyataan tersebut. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, menurut Rorty, epistemologi modern yang merupakan produk pemikian filosofi abad ke-17 dan 18 sesungguhnya muncul dan berkembang subur atas dasar beberapa keracuan yang telah menandainya sejak awal. Keracuan pertama, sebagaimana tampak dalam pemikiran Locke, adalah keracuan antara syarat-syarat penjelasan atau penyebaban munculnya pengetahuan dan pembenaran terhadap klime pengetahuan. Locke misalnya beranggapan bahwa dari adanya inpresi dalam pikiran manusia tentang adanya sebuah segitiga merah, dibuktikan bahwa sebuah benda yang berwarna merah dan berbentuk segitiga memang sungguh ada diluar pikiran manusia. Kerancuan kedua; sebagaimana tampak dalam pikiran Kant, adalah keracuan antara predikasi (= melekatkan predikat dalam subjek) dan sintesis (= kegiatan memadukan dua hal yang berbeda). Menurut Rorty, Kant benar ketika memahami pengetahuan sebagai suatu yang berkenaan dengan proposisi dan bukan dengan benda atau objek pada dirinya sendiri diluar pikiran. Tetapi Kant keliru ketika mengklime bahwa konsep merupakan pemaduan (pembuatan sintesis) secara apriori atas intuisi inderawi yang masih bersifat pusparagam. Klaim yang dibuat oleh Kant –bahwa keniscayaan kebenaran dalam putusan sintesis apriori didasarkan atas deduksi logis aktivitas akal budi yang membentuk suatu objek –hanya dapat diterima kalau kita menerima asumsi Descartes bahwa kebenaran rasional lebih terjamin kepastiannya daripada kebenaran empiris.
Di mata Rorty epistemologi modern yang mulai dengan upaya Descartes menjamin kepastian pengetahuan dengan melakukan kajian tentang pikiran manusia sendiri (suatu upaya yang kemudian dilanjutkan oleh Locke dengan kajiannya tentang cara kerja pikiran dalam proses mengetahui dan akhirnya disempurnakan oleh Kant dengan analisisnya tentang apa yang ia nyatakan sebagai syarat-syarat yang secara niscaya diperlukan untuk dimungkinkannya pengetahuan apapun) di dasarkan atas gambaran pengetahuan sebagai representasi realitas atau penyajian kembali objek diluar manusia. Pengetahuan selalu dimaksudkan sebagai pengetahuan tentang objek tertentu (knowledge of) diluar manusia, dan bukan pengetahuan bahwa (knowledge that) sesuatu itu begini atau begitu. Pengetahuan tidak dimengerti sebagai justified true belief, tetapi sebagai accurate respresentation of reality. Pemahaman ini mengandaikan kebenaran teori kebenaran yang disebut teori korespondensi, dan paham mengetahui sebagai melihat serta melaporkan sesuatu diluar pikiran secara akurat. Menurut Rorty, seluruh gagasan tentang epistemologi sebagai upaya rasional untuk membangun fondasi atau dasar-dasar pengetahuan merupakan produk pilihan metafor “melihat” atau metafor “cermin” untuk kegiatan mengetahui. Kalau pilihan metafor ini ditinggalkan, maka tidak perlu lagi orang berfikir tentang perlunya fondasi untuk pengetahuan. Kalau keperluan akan pendasaran pengetahuan tidak ada lagi atau tidak lagi dibutuhkan, maka epistemologi sebagai upaya memberi pendasaran pengetahuan juga tidak perlu lagi. Bagi Rorty hasrat untuk mengembangkan epistemologi berangkat dari keperluan akan adanya dasar yang kokoh dan tak tergoyahkan lagi bagi pengetahuan. Hasrat ini merupakan hasrat yang tidak mungkin terpenuhi, karena melawan kontingensi atau keterbatasan pengetahuan manusia. Klime bahwa itu mungkin, bersifat menipu diri. Tidak ada tolak ukur lain bagi objektivitas kebenaran pengetahuan manusia kecuali praksis sosial tempat pengetahuan itu dikemukakan. Demikian argumen Rorty untuk menunjukkan bahwa epistemologi tidak diperlukan lagi. Yang diperlukan sekarang adalah Hermeneutika, yakni aktivitas pemaknaan wacana dalam percakapan budaya umat manusia. Hermeneutika memahami hubungan antara macam-macam aspek kebudayaan atau macam-macam wacana sebagai alur-alur percakapan yang mungkin dilakukan.
Kalau memperhatikan argumentasi Rorty diatas, nyata bahwa ia memahami pengertian epistemologi secara sempit, yakni terbatas atas pengertian epistemologi sebagaimana dimaksud oleh Descartes, Locke, dan Kant. Epistemologi dimengerti sebagai upaya rasional untuk memberi dasar yang kokoh tak tergoyahkan dan bersifat ahistoris. Juga memahami mengetahui sebagai kegiatan merepresentasikan seobjektif mungkin apa yang ditangkap secara inderawi dari luar, bagaikan cermin yang semakin bersih semakin mampu memantulkan kembali benda-benda diluar dirinya secara tepat. Kalau epistemologi dan kegiatan manusia mengetahui dimengerti seperti itu, memang tidak lagi memadai. Tetapi epistemologi dan kegiatan manusia mengetahui tidak harus dimengerti seperti itu. Epistemologi pada dasarnya merupakan suatu kajian filosofis (menggeluti masalah umum, menyeluruh, dan mendasar) tentang pengetahuan. Dalam arti ini, apa yang dibuat Rorty sendiri dapat digolongkan sebagai suatu epistemologi. Kemudian pandangan Rorty bahwa kegiatan mengetahui itu tidak sama dengan melihat dan melaporkan kembali atau merepresentasikan apa yang dilihat, kiranya pantas disetujui. Tetapi epistemologi justru diperlukan untuk menunjukkan bahwa paham seperti itu tidak tepat. Epistemologi sebagai suatu bentuk fondasionalisme sebagaimana dikembangkan oleh Kant memang tidak sesuai dengan sifat historis dan contingent pengetahuan manusia. Tetapi ini tidak berarti bahwa segala bentuk epistemologi akan jatuh ke fondasionalisme model Descartes, Locke, dan Kant sebagaimana Rorty khawatirkan. Maka, tidak benar bahwa epistemologi menjadi tidak perlu dan bahkan tidak mungkin lagi dikembangkan. Bagaimanapun juga, manusia sebagai makhluk rasional akan selalu terdorong untuk mencari dasar pijak (yang barangkali masih bisa direvisi kemudian) yang paling tidak untuk sementara waktu bisa dijadikan sebagai acuan pertanggungjawaban klaim kebenaran pengetahuannya. Kalau praksis sosial yang dalam kenyataan berlaku dalam lingkungan masyarakat tertentu dijadikan dasar terakhir penilaian, lalu bagaimana praksis sosial itu sendiri mau dinilai?
Kembali ke pertanyaan tentang manfaat mempelajari epistemologi, tanpa secara harfiah mengikuti perincian penjelasan yang diberikan oleh A.M.W. Pranarka, saya sependapat bahwa sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang dapat dikemukakan mengapa epistemologi perlu dipelajari. Alasan pertama berangkat dari perrtimbangan strategis, alasan kedua dari pertimbangan kebudayaan, dan alasan ketiga berangkat dari pertimbangan pendidikan. Ketiga alasan tersebut semunya berpangkal pada pentingnya pengetahuan dalam kehidupan manusia.
Mengenai alasan pertama, yakni berdasarkan pertimbangan strategis, kajian epistemologi perlu karena pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup manusia. Strategi berkenaan dengan bagaimana mengelola kekuasaan atau daya kekuatan yang ada sehingga tujuan dapat tercapai. Pengetahuan pada dasarnya adalah suatu kekuasaan atau daya kekuatan. Sudah sejak Francis Bacon (1561-1626) orang disadarkan akan kenyataan bahwa pengetahuan adalah suatu kekuasaan. Knowledge is power. Pengetahuan mempunyai daya kekuatan untuk mengubah keadaan. Dalam zaman yang semakin didominasi oleh daya kekuatan teknologi yang berbasiskan pengetahuan dewasa ini, kita disadarkan oleh kenyataan bahwa dapat menguasai keadaan. Kekuatan ekonomi, politik, militer dunia dewasa ini semakin erat terkait dengan kekuatan teknologi yang berbasiskan pengetahuan. Maka, seperti dikatakan oleh Pranarka: “Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah dan akan terus membentuk kebudayaan, menggerakkan dan mengubah dunia, sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahami apa itu pengetahuan, apa sifat dan hakikatnya.” Pertanyaan-pertanyaan asasi tentang pengetahuan seperti itu dicoba untuk dijadwab oleh epistemologi.
Berkenaan dengan alasan kedua, yakni alasan berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah kenyataan bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur dasar kebudayaan. Memang kebudayaan mempunyai unsur-unsur penting lain seperti sistem kemasyarakatan, sistem religi, sistem bahasa, sistem seni, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem simbol serta pemaknaanya, dan sebagainya. Dengan daya pengetahuannya manusia membudayakan alam, membudayakan masyarakat, dan dengan demikian membudayakan dirinya sendiri. Pengetahuan dapat dikatakan merupakan penggerak kebudayaan. Revolusi pengetahuan membawa gejolak dalam perkembangan kebudayaan.
Mengenai alasan yang ketiga, yakni berdasarkan pertimbangan pendidikan, epistemologi perlu dipelajari karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan. Proses belajar-mengajar dalam konteks pendidikan selalu memuat unsur penyampaian pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai. Penyampaian pengetahuan dari pihak guru dan pencarian serta penguasaan pengetahuan dari pihak peserta didik merupakan unsur hakiki dalam pendidikan. Pentingnya pengetahuan bagi pendidikan juga semakin ditegaskan mengingat, seperti telah dikemukakan di atas, betapa pengetahuan itu merupakan faktor strategis serta amat menentukan dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia.
Kegiatan pendidikan, khususnya yang formal di sekolah, erat terkait dengan kurikulum. Pengaturan kurikulum, selain mengandaikan pemahaman tentang tata susunan ilmu pengetahuan. Perancang kurikulum pendidikan, selain perlu memahami dinamika perkembangan dan psikologi pembelajaran peserta didik, kiranya juga perlu mengetahui bagaimana peta keseluruhan ilmu pengetahuan dan taksonomi ilmu yang akan diprioritaskan. Ia juga perlu mengetahui, paling tidak secara garis besar, sifat hakiki, cara kerja masing-masing ilmu dan perkembangannya. Pengetahuan tentang peta ilmu, sejarah perkembangannya, sifat hakiki, dan cara kerja ilmu yang diandaikan dimiliki oleh mereka yang mau mengelola pendidikan merupakan pokok bahasan dalam kajian epistemologi, khususnya dalam filsafat ilmu atau filsafat sains. Dalam arti inilah kajian epistemologi mempunyai relevansi bagi pendidikan.
Dengan uraian diatas kiranya menjadi jelas bahwa epistemologi, asal tidak dipahami secara sempit sebagaimana dimengerti oleh Rorty dan juga tidak harus terbatas pada epistemologi individual, tetapi merupakan cabang filsafat yang dewasa ini dapat dam perlu dikembangkan. Tiga alasan pragmatis yang dikemukakan di atas juga dapat menunjukkan bahwa epistemologi, sebagai salah satu cabang dalam disiplin ilmu filsafat, masih tetap relevan atau berguna untuk dipelajari.
5. Metode di dalam Epistemologi
Pengalaman dianggap bukanlah masalah benar atau salah, tetapi tetaplah kenyataan. Konsep (misalnya: hijau, rumput) sebagai pemahaman yang terpisah dari kenyataan tidak bisa dianggap benar atau salah, tetapi hanyalah menyampaikan arti yang mungkin diwujudkan. Tetapi pertimbangan yang menyatakan sesuatu (misalnya: “rumput itu hijau”) bisa benar atau salah di dalam pernyataan, dengan pertimbangan apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak.
Memang benar bahwa pertimbangan mempunyai peranan yang sangat menentukan di dalam pemahaman manusia. Namun tetaplah benar bahwa masalah pengetahuan seharusnya tidak disamakan dengan masalah benar-tidaknya pertimbangan. Pengetahuan tentu saja berhubungan erat dengan ekspresi normalnya mendapatkan pengucapannya di dalam pertimbangan/pernyataan.
Namun epistemologi bukan hanya berurusan dengan pernyataan atau pertimbangan, tetapi epsitemologi benar-benar berurusan dengan pertanyaan mengenai dasar dari pertimbangan. Nilai kebenaran pertimbangkan harus diputuskan berdasar evidensi, dan keterlibatan epistemologi yang sebenarnya adalah dengan persoalan evidensi. Persoalan ini lebih luas daripada persoalan pertimbangan. Mungkin saja bahwa saya tahu lebih banyak daripada yang dapat saya nyatakan di dalam pertimbangan.
Dengan mengarahkan perhatian bukan kepada pertimbangan tetapi kepada evidensi, maka perhatian yang terlalu sempit kepada bentuk pikiran tertentu, misalnya Thomistik, harus segera ditinggalkan. Persoalan mengenai evidensi bukanlah melulu persoalan mengenai penerapan konsep-konsep inderawi mengenai objek-objek partikular. Kecenderungan umum untuk memperlakukan ide, pertimbangan, dan penalaran sebagai hal yang bersifat kognitif, sementara segi-segi lain dari pengalaman dianggap tidak relevan secara kognitif.
Tetapi perlu diingat bahwa apa yang dikatakan di sini masih bersifat sementara. Pada tahap ini barulah merupakan antisipasi yang masih perlu ditelaah dengan kritis lebih lanjut. Tentu saja beralasan untuk menganggap bahwa pertimbangan mempunyai kedudukan khusus di dalam pengetahuan manusia. Dan memang selayaknyalah kalau epistemologi memberi perhatian khusus kepadanya. Tetapi hal itu harus dilihat di dalam kerangka persoalan evidensi. Selanjutnya pertimbangan tidak boleh dilihat hanya dengan cara ahli logika atau ahli tata bahasa melihatnya. Pertimbangan merupakan ungkapan dari asimilasi diri atas kenyataan. Pertimbangan tidak boleh dipisahkan dari seluruh dinamisme subjek yang menangkap pernyataan diri kenyataan.
Persoalan metode ini merupakan pokok terakhir pendahuluan dan tidak boleh terlalu detil. Filsafat pengetahuan, sebagai usaha untuk menafsirkan nilai kognitif pengalaman, tidak boleh terlalu dibebani oleh tetek bengek terminologi teknis atau oleh pengandaian-pengandaian suatu sistem filsosofis tertentu. Epistemologi harus menatap pengalaman selangsung mungkin dan harus menggunakan bahasa sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Epistemologi disebut teori pengetahuan (theory of kowledge). Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan dan lain sebagainya.
Pengetahuan diperoleh dari akal, yakni pengetahuan yang didapatkan melalui proses berfikir yang logis sehingga dapat diterima oleh akal. Dari sini memunculkan aliran rasionalisme. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman, yakni pengetahuan baru muncul ketika indera manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan, jadi ketika manusia lahir benar-benar dalam keadaan yang bersih dan suci dari apapun. Aliran yang mempunyai paham ini adalah aliran empirisme. Pengetahuan diperoleh dari intuisi, yakni pengetahuan yang bersifat personal, dan hanya orang-orang tertentu yang mendapatkan pengetahuan ini.
2. Saran
Manusia dalam berbuat tentunya terdapat kesalahan yang sifatnya tersilap apalagi dalam kegiatan menyusun makalah ini. Maka dari itu penulis mohon kritik dan sarannya guna perbaikan penyusunan selanjutnya.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar A. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Sudarminta J. 2002. Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan Dasar. Kanisius
Hardono, Hadi P. 1994. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Kanisius
Bahtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. PT. Raja Grafindo Pustaka
Taryadi, Alfons. 1991. Epistemologi Pemecahan Masalah. PT Gramedia Pustaka Umum
Surajiyo. 2013. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar