Minggu, 17 Desember 2017

EKOKRITIK SASTRA

BAB I
PENDAHULUAN


1.    Latar Belakang
Ecocriticism sebagai disiplin akademis mulai digalakkan pada 1990-an, meskipun akarnya mulai 1970-an. Karena merupakan wilayah studi baru, para sarjana masih terlibat dalam mendefinisikan ruang lingkup dan tujuan subjek. Cheryll Glotfelty, salah satu pelopor di lapangan, telah mendefinisikan ecocriticism sebagai "studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik," dan Laurence Buell mengatakan bahwa studi ini harus "dilakukan dalam semangat berkomitmen terhadap praksis lingkungan." David Mazel menyatakan itu adalah analisis sastra "seolah-olah sifat penting." Studi ini, ia berpendapat, tidak dapat dilakukan tanpa pemahaman yang tajam tentang krisis lingkungan dari zaman modern dan dengan demikian harus memberitahukan tindakan pribadi dan politik; itu, dalam rasa, bentuk aktivisme. Banyak kritikus juga menekankan sifat interdisipliner penyelidikan, yang diinformasikan oleh ilmu pengetahuan ekologis, politik, etika, studi perempuan, studi asli Amerika, dan sejarah, antara bidang akademis lainnya. Istilah ini diciptakan pada tahun 1978 oleh William Rueckert dalam esainya: Minat studi penulisan alam dengan membaca sastra yang terfokus pada masalah "hijau"  tumbuh di tahun 1980, "Sastra dan Ekologi Sebuah Percobaan di Ecocriticism." Ecocriticism awal 1990-an telah muncul sebagai suatu disiplin  yang diperkenalkan dalam departemen sastra universitas Amerika.
Beberapa kritikus berpendapat bahwa tradisi Amerika menulis alam berasal dari karya Thoreau. Karya lain berupa nonfiksi dari Amerika tentang alam Alam Ralph Waldo Emerson (1836). Esai ini adalah pernyataan penulis tentang prinsip-prinsip filosofi Transendentalisme, yang ia gambarkan sebagai "sebuah hipotesis untuk menjelaskan alam dengan prinsip-prinsip lain daripada pertukangan dan kimia." Dalam karya ini, Emerson berbicara tentang kesatuan mistis alam dan mendesak para pembacanya untuk menikmati hubungan dengan lingkungan. Penulis Amerika lain dari periode yang karyanya telah dilihat  penting oleh ecocritics termasuk William Cullen Bryant, James Kirke Paulding, James Fenimore Cooper, Nathaniel Hawthorne, Walt Whitman, dan sejumlah kecil penulis yang menulis cerita tentang Wild West.
Abad kesembilan belas Amerika dan penjelajah naturalis sering didiskreditkan oleh ecocritics  memprakarsai gerakan konservasi. Para penulis ini berbeda dari "sastra" penulis karena pekerjaan mereka lebih berfokus pada deskripsi ilmiah dan spekulasi tentang alam. Namun, seperti banyak kritikus telah menunjukkan, tulisan-tulisan mereka yang memiliki semangat puitis yang membuat ide-ide mereka diakses pembaca awam. Dua hal  besar  pada abad kesembilan belas naturalis Amerika, sebagian besar kritikus setuju, adalah John Burroughs dan John Muir. Karya awal Burroughs itu dipengaruhi oleh Whitman, terutama esai-esai yang dikumpulkan dalam Wake-Robin (1871) dan Burung dan Penyair (1877) Setelah membaca Charles Darwin dan John Fiske, Burroughs berbalik untuk spekulasi ilmiah tentang alam dan kemudian dalam kehidupan mengambil pandangan yang lebih spiritual. Muir, yang berasal dari Skotlandia, bepergian di Amerika Serikat dan didokumentasikan pengamatannya dalam ratusan artikel dan sepuluh buku utama. Dia juga bekerja untuk mencegah kerusakan lingkungan, dan dia dikreditkan  bertanggung jawab untuk melestarikan Lembah Yosemite di California, yang menjadi taman nasional kedua di Amerika Serikat. Di Inggris, pada abad kesembilan belas, para penyair Romantis bereaksi keras terhadap penekanan abad kedelapan belas pada alasan dan mencari cara baru untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka.
William Wordsworth, dianggap  untuk menjadi juru bicara gerakan, merayakan keindahan dan misteri alam di beberapa lirik yang paling terkenal, termasuk "Michael" (1800), yang menggambarkan seorang gembala sederhana yang sangat terikat dengan alam sekitarnya. Puisi Wordsworth otobiografi The Prelude (1850) catatan pemahaman penyair berkembang alam, dan The Excursion (1814) adalah refleksi filosofis yang panjang mengenai hubungan manusia dan alam. Puisi Samuel Taylor Coleridge, John Keats, Lord Byron, dan Percy Shelley juga mencakup deskripsi emosional dari alam dan fitur beberapa ayat alam yang paling terkenal dalam bahasa Inggris. Shelley "Ode to Angin Barat," untuk mengutip salah satu contoh, telah disebut puisi liris yang paling terinspirasi menggambarkan alam dalam bahasa Inggris. Bunga Romantis di alam sangat penting untuk ecocritics karena penyair revolusioner dalam politik mereka, dan pelestarian alam adalah salah satu unsur pemikiran radikal mereka. Seorang penyair romantis yang menggunakan pemahamannya alam untuk protes terhadap mesin kapitalis baru adalah John Clare, yang, tidak seperti yang lain, adalah dirinya sendiri buruh dan bekerja di darat. Kemudian abad kesembilan belas catatan para penulis Inggris termasuk Thomas Hardy, yang dalam novel arti tempat selalu mengambil tengah panggung, dan Matthew Arnold, yang cinta puisi "Dover Beach" (1867) dikatakan menawarkan salah satu uraian terbaik dari tempat di puisi Inggris.
Seperti kritikus telah menunjukkan, salah satu alasan yang ecocriticism terus tumbuh sebagai suatu disiplin adalah krisis lingkungan terus global. Ecocricism bertujuan untuk menunjukkan bagaimana karya penulis peduli terhadap lingkungan dapat memainkan beberapa bagian dalam memecahkan masalah ekologi nyata dan mendesak.
Munculnya ecocritisism diilhami oleh pergerakan-pergerakan lingkungan modern. Diawali dengan gerakan lingkungan pada tahun 1960-an karena kekhawatiran terhadap perubahan populasi dan kelangkaan sumber daya alam. Rachel Carson mampu memanfaatkan gaya pastoral yang berarti dalam terobosan "Silent Spring" nya (1962), yang sering dibahas oleh berbagai ekokritiker. Meskipun demikian istilah "ecocriticismbaru  diciptakan pada tahun 1978 oleh William Rueckert dalam esainya: Minat studi penulisan alam dan dengan membaca sastra dengan fokus pada "hijau" masalah tumbuh di tahun 1980, "Sastra dan Ekologi Sebuah Percobaan di Ecocriticism." Sementara itu Ecocriticism sebagai disiplin akademis mulai digalakkan pada 1990-an, Ecocriticism memiliki asosiasi untuk studi sastra dan lingkungan (ASLE) memiliki akses ke jaringan internasional dengan berbagai konferensi, publikasi dan kursus. Asosiasi ini  berkembang di Jerman, Jepang, Inggris, dan korea yang telah rutin menerbitkan tulisan tentang sastra lingkungan.Host pertemuan asosiasi ini dilaksanakandua tahun sekali bagi para sarjana yang berurusan dengan masalah lingkungan dalam literatur. ASLE menerbitkan jurnal-Interdisipliner Studi Sastra dan Lingkungan (Isle)-di mana beasiswa Amerika saat ini dapat ditemukan.


2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:
(1)   Tentang Ekokritik Sastra
(2)   Sasaran Ekokritik Sastra
(3)   Jejak Langkah Ekokritik Sastra
(4)   Ekokritik Sastra Terapan



BAB II
PEMBAHASAN

1.    Ekokritik Sastra
Ekokritik sastra tergolong baru dalam kancah penelitian sastra. Jagad kritik sastra juga baru mengenal istilah ekokritik, biarpun sejak lama konteks demikian sudah ada. Hal ini juga diakui Garrad (2004:1-2), tokoh yang ikut meletakkan dasar ekokritik sastra. Dia termasuk tokoh yang layak disebut bapak ekokritik sastra. Ekokritik sastra cenderung menjadi pilar kritik sastra. Kritik sastra tentu berupaya memberikan evaluasi sastra. Phillips (2003:1) berpendapat bahwa ekokritik sastra telah mencatat sampai sekarang tentang sikap hidup manusia yang terlalu saleh terhadap alam. Kesalehan ini tentu dapat menarik perhatian ekokritik sastra dan ekologi sastra. Dalam pemahaman dia, para penulis sastra dan kritikus dianggap sering bersekutu dalam pertahanan alam. Penulis sastra ingin menyuarakan alam, kritikus mempertimbangkan suara alam secara evaluative. Langkah ekokritik demikian juga dilakukan oleh Garrad (2004:3) yang bersikap tegas dan sopan, bahwa secara umum tentang dorongan dari gerakan lingkungan modern yang mulai berlangsung sejak tahun 1960-an. Sedangkan modus lain dari kritik politik dalam karya sastra, seperti Marxisme, feminisme dan postkolonialisme, juga memiliki asal-usul sebagai gerakan sosial baru di masa itu. Sejaks saat itu, arus utama dalam sastra dan kajian budaya, telah ada (dan di beberapa kalangan) memiliki resistensi yang cukup besar terhadap praktik ekokritik kritik yang berpusat pada bumu.
Sebagian besar pandangan ekokritik sastra mengakui, bahwa peran bahasa, budaya dan masyarakat dalam membentuk persepsi manusia terhadap alam, adalah suatu relitas yang sulit dibantah. Maka kontruksi budaya dan hubungan sosial juga sering memoles keadaan bisofer bumi dalam lingkup studi sastra. Ekokritik sastra sering membuat seruan kepada pencipta sastra. Dengan demikian mungkin juga akan terjadi pelanggaran atas kesenjangan antara manusia dengan alam. Ekokritik sering mencurigai karya sastra secara akademik, terutama bila berhadapan dengan karya-karya kecil (marginal).
Ekokritisme adalah aliran terbaru pemahaman sastra. Banyak pihak memang yang masih meragukan hadirnya ekokritik sastra. Ekokritik sastra adalah upaya memahami artefak budaya baik lisan maupun tertulis. Kemampuan untuk menyelidiki artefak budaya dari perspektif ekologi itu mulai mencuat kuas ketika Greg Garrad (2004:3), mulai mengenalkan lewat berbagai artikel dan paper dalam berbagai seminar sastra. Ekokritik, adalah perspektif kajian yang berusaha menganalisis sastra dari sudut pandang lingkungan. Kajian ini berupaya mengamati bahwa krisis lingkungan tidak hanya menimbulkan pertanyaan teknis, imiah dan politik, tetapi juga persoalan budaya yang terkait dengan fenomena sastra. Upaya mengkaji sastra dari aspek lingkungan secara kritis telah memunculkan disiplin yang relatif baru disebut ekokritik sastra. Kebiasaan yang terjadi dalam ekokritik sastra adalah mempresentasikan fenomena kultural, iklim, perubahan lingkungan dalam sastra.
Perubahan iklim, budaya, masa kepunahan lingkungan, dan degradasi moral yang kompleks sering melekat pada teks, sehingga menimbulkan tantangan bagi pengkaji ekokritik sastra, sehingga menimbulkan tantangan bagi pengkaji ekoritik sastra. Teks-teks drama dan film, biasanya banyak mengundang tantangan baru bagi pengkaji ekoritik sastra.
Kemunculan ekokritik sastra bukan sensasi, melainkan menemukan terobosan pemahaman sastra. Patrick Murphy (Estok, 2001:229) pada tahun 1999 menulis: setiap departemen yang mendalami sastra perlu diarahkan ke ecoritic dan jajarannya. Salah satunya adalah hubungan antara sastra dan dunia (lingkungan) masih terkesan sebagai menara gading. Sastrawan dan kritikus belum merasa saling membutuhkan. Dengan hadirnya ekokritik sastra, kemungkinan besar akan semakin dibutuhkan bahwa kehadiran kritik itu penting.


2.    Sasaran Ekokritik Sastra
Sasaran ekokritik tentu spesifik, yaitu karya yang bernuansa ekologi. Sasaran pokok ekokritik tentu perlu seleksi, tidak asal karya sastra dikritik atas dasar ekokritik sastra. Yang perlu diingat lagi bahwa ekokritik sastra adalah sebuah perspektif yang mempertimbangkan aspek lingkungan ke dalam sastra.
Pada dasarnya alam memang selalu dekat. Sastra dan alam  butuh harmoni, agar manusia dapat hidup enak. Ketika keharmonisan terganggu, alam bergejolak, manusia akan gundah. Pada titik ini sastra akan angkat bicara. Itulah sebabnya perspektif eko-ilmiah perlu digunakan untuk menelusuri karya sastra. Hal ini mengingat kontemplasi sastrawan di alam sunyi seolah-olah sudah menjadi “lagu wajib”. Dari realitas sastra, tidak sedikit karya yang memuja alam dan lingkungan sekitarnya. Kadang-kadang sastrawan juga merasa iba terhadap suasana ekologi. Dari tulisan Miah (2012:1-3) yang membahas puisi-puisi alam Wordsworth cukup menarik disimak. Dia membahas puisi penyair besar ini menggunakan kacamata eko-scienfifik. Menurut dia, banyak puisi yang melukiskan ilmu alam. Alam semestinya menjadi guru ilmiah bagi manusia.
Dari zaman dahulu hingga dekade ini, penyair, dramawan, dan fiksionis (cerpenis dan novelis) telah menggambarkan alam dengan cara yang berbeda dalam karya-karya mereka. Kajian ekokritik sastra, sejauh ini, telah menunjukkan aspek mistik, didaktik, dan filosofis puisi alam Karya Wordsworth. Hal ini berarti bahwa lingkungan memang seorang “guru natural” bagi pembaca . penyair hendak menanamkan ajaran dengan mamanfaatkan refleksi alam. Memang harus diakui bahwa dalam konteks deforestasi global dan degradasi lingkungan, pendekatan tradisional telah kehilangan pesona untuk mengevaluasi puisi alam karya Wordsworth. Maksudnya, pendekatan baru yang disebut ekokritik sastra amat diperlukan untuk mencermati puisi alam tersebut. Yang dimaksud puisi alam adalah karya-karya yang menggunakan ekspresi alam semesta sebagai tumpuan ekspresi.
Melengkapi puisi alam tampaknya memang perlu semangat membaca dan mencintai lingkungan. Semangat ini penting bagi seorang pengkaji ekokritik, agar wawasannya semakin jitu. Jadi, pendekatan baru untuk penghakiman puisi memang sulit ditawar-tawar lagi. Maka tulisan ini berupaya menggali lebih jauh ke dalam puisi alam karya Wordsworth dan perspektif ekokritik. Perspektif ekokritik sastra diharapkan dapat menjembatani generasi baru pembaca dan kritikus yang sudah mulai kehilangan semangat membedah puisi dengan pendekatan tradisional.
Perlu diketahui, ekologi adalah ilmu yang mempelajari efek dari peradaban modern terhadap lingkungan. Hal ini juga berkaitan dengan masalah lingkungan dan kesadaran di kalangan umum dan dengan demikian dapat membantu melestarikan keseimbangan ekologi. Kunci pokok dari ekokritik juga pencapaian harmoni (keseimbangan). Harmoni dapat dicermati melalui teks sastra. Disiplin ilmu ini masuk ke dalam dunia sastra ketika kritikus cenderung untuk megevaluasi sebuah karya sastra dari perspektif eko-ilmiah yaitu dengan menerapkan istilah “ekokritisme”. Artinya ekokritisme itu akan menemukan harmonisasi antara sastra, manusia, dan alam semesta. Harmonisasi  adalah cita-cita hidup manusia. Sastra menjadi wahana mencapai harmonisasi.
Untuk meneliti sebuah atau sepotong dengan kriteria eco-ilmiah memang sudah saatnya. Perspektif ekokritik sastra merupakan jalur alternatif studi analisis sastra dan lingkungan dari perspektif interdisipiner. Dalam pandangan ini semua disiplin datang bersama-sama untuk menganalisis lingkungan dan mencari tahu kemungkinan solusi untuk masalah lingkungan saat ini terkait dengan sastra.
Dengan penerbitan dua karya penuntun ekoritik sastra, keduanya diterbitkan pada pertengahan 1990-an berjudul The Eccocritisme Reader dengan editor Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm serta Environmental Imagination editor oleh Lawrence Buell ekokritisme mulai mendapat perhatian banyak pihak. Lawrence Buell (Miah, 2012:4) orang yang pertama kali secara resmi memunculkan istilah “ekokritisme”. Siapa yang pertama kali mencetuskan pandangan ekokritisme perlu dicatat, namun yang lebih penting adalah bagaimana menyuburkan pandangan itu. Yang jelas ekokritisme menawarkan pendekatan studi yang luas dan diakui oleh sejumlah sebutan lain. Ekokritik sastra menyetujui gagasan yang memiliki sasaran: (1) sebagai “studi budaya hijau”, (2) sebagai bentuk eko-puisi untuk mengungkap kandungan harmoni alam dalam teks, dan (3) sebagai kritik sastra yang bernuansa lingkungan. Dengan demikian pula dinyatakan bahwa ekokritisme adalah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik (Fromm, 1996: 18). Kajian ekokritik sastra dapat dikatakan bahwa setiap karya sastra yang menggambarkan alam sebagai instrumen dengan maksud memberikan pesan kepada pembaca dapat jatuh ke dalam kategori sepotong ekokritik tulisan.
Dalam konteks ini, puisi-puisi William Wordsworth dianggap memiliki kekuatan sebagai karya sastra yang sadar lingkungan. Banyak puisinya yang memuat studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan yang dilakukan dalam semangat komitmen untuk lingkungan praktis (Buell, 1995:430). Karya sastra demikian berarti tepat menjadi garapan ekokritik. Sastra yang peduli lingkungan akan mengajak pembaca semakin arif atau ramah lingkungan.

     
3.    Jejak Langkah Ekokritik Sastra
Menilisi jejak ekokritik sastra cukup mengasyikkan. Ekokritik sudah berhasil memompa seluruh keinginan para pemerhati sastra. Mereka umumnya penasaran dan ingin partisipasi dalam fenomena ekokritik. Glotfelty dan Fromm (1996:1-2) menjelaskan panjang lebar tentang hakikat ekokritisme. Ekokritisme yang ia bidik sebenarnya pembaca sastra. Pembaca adalah penentu makna. Komunikasi sastra akan terjadi secara baik apabila pengirim pesan, teks, dan pembaca bersinergi. Pembaca adalah orang yang patut dipertimbangkan dalam kajian ekokritik. Bahkan dalam skala luas pembaca semakin manarik kajian ekologi sastra. Menjelajahi hubungan antara sastra dan lingkungan fisik, tetap harus dikaitkan dengan pembaca.
Ekologi sastra adalah studi tentang cara-cara yang terkait dengan membaca dan menulis baik mencerminkan dan mempengaruhi interaksi kita dengan alam. Pengantar buku Glotfelty dan Fromm (1996:3) berjudul, “The Eccocticsm Reader” mendefinisikan wacana sastra ekologi dan sketsa perkembangannya sudah berlangsung selama seperempat abad terakhir. Dua puluh lima judul artikel pilihan dalam buku ini, memuat campuran esai yang dicetak ulang berkali-kali. Isi dari artikel itu mampu melihat ke belakang, tentang asal-usul dan menatap ke depan untuk menemukan kecenderungan serta memberikan penjelasan menarik dan gamblang dengan pendekatan ekologi sastra. Daftar bacaan yang direkomendasikan, majalah yang relevan, dan organisasi profesional termuat dalam buku berharga itu.
The Eccocriticsm Reader adalah bacaan representatif dan menjadi bidang studi sepenuhnya terlibat dengan masalah kontemporer yang paling mendesak dalam krisis lingkungan global. Artikel-artikel yang ditampilkan memuat pengenalan lapangan sebagai buku sumber untuk mengkaji sastra ekologi. Buku ini juga mendefinisikan wacana ekologi sastra, sketsa perkembangannya selama abad seperempat terakhir, dan memberikan gambaran menarik dan gamblang serta contoh berbagi pendekatan ekologi sastra. Selain itu, lewat buku ini juga mempertegas konsep ekokritisme. Secara sederhana, ekokritisme adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Sama seperti kritik feminisme meneliti bahasa dan sastra dari perspektif sadar gender, dan kritik Marxis membawa kesadaran mode produksi dan ekonomi suatu kelas untuk membaca teks, ekokritisme memanfaatkan pendekatan bumi sebagai pusat studi sastra.
Bumi yang dimaksud adalah bumi hijau yang sejuk. Bumi yang bagus adalah yang bersahabat. Secara simple, Glotfely (1996:3) mwmbahas ekokritik dengan mengajukan beberapa pertanyaan terkait. Dengan bumi dan lingkungan menurut dia, ekokritik dan teori ekologi sastra terkait dengan pertanyaan: (1) Bagaimana alam di representasikan dalam karya sastra?, (2) Peran ekologis apa yang dapat mengatur plot novel?, (3) Apakah nilai yang dinyatakan dalam drama ini konsisten dengan kearifan ekologi?, (4) Bagaimana makna metafora sastra yang terkait dengan tanah?, (5) Bagaimana kita dapat mencirikan menulis alam sebagai genre?, (6) Selain ras, kelas, dan jenis kelamin, harus menempatkan kategori kritis baru dalam ekologi sastra?, (7) Apakah laki-laki menulis tentang alam berbeda daripada wanita?, (8) Dengan cara apa manusia memiliki keaksaraan yang berhubungan dengan alam?, (9) Bagaimana memiliki konsep padang gurun berubah dari waktu ke waktu?, (10) Dengan cara apa dan untuk apa efek krisis lingkungan merembes ke dalam sastra kontemporer dan budaya populer?, (11) Apa pemandangan alam menginformasikan laporan pemerintah, iklan korporat, dan televisi dokumentar alam, dan untuk apa efek retoris?, (12) Apa mungkin ilmu ekologi terfokus terhadap studi sastra?, (13) Bagaimana ekologi itu sendiri terbuka untuk analisis sastra?
Ketiga belas pertanyaan itu merupaka  konsep penting bagi kajian ekologi sastra. Lingkup kajian ekologi sastra yang dia tawarkan pantas ditelusuri lebih dalam. Sastra dan lingkungan memang dua hal yang berbeda, tetapi dapat dipadukan. Sastrawan adalah juru pemadu yang luar biasa. Sastrawan memiliki daya imajinasi yang pantas dihormati. Biarpun Glotfelty (1996:1), masih meragukan terus-menerus dengan lagu Tanya: “Mengapa begitu banyak fiksi Amerika baru-baru ini menjadi mandul?” Yang dimaksud mandul, tentu terkait melek lingkungan atau tidak. Sastrawan Indonesia, tentu saja boleh berbeda dengan Amerika. Sastrawan  Indonesia adalah orang yang piawai dan tanggap terhadap lingkungan alam.
Yang menarik lagi adalah pengakuan Glotfelty (1996), bahwa dirinya secara jujur, (1) menemukan dirinya setelah membaca sedikit novel kontemporer dan cerita setiap tahun, (2) dia begitu sering merasa bahwa karyanya yang paling dirayakan oleh para pakar sastra (baik avant garde maupun pembentukan). Dirayakan artinya selalu menjadi rujukan penting bagi pemahaman ekokritik sastra. Hal ini seolah-olah dia memiliki kekuatan yang tumbuh dari penyihir meracik mantra. Harus diakui memang beberapa kajian ekokritik atau ekologi sastra di Indonesia pun berkiblat gagasan Glotfelty. Lewat gaya bertanya, dari 13 pertanyaan di atas pun, dia tampak sudah larut dalam konsep ekologi sastra.
Keadaan bumi yang tenang, akan menyejukkan manusia. Bumi yang bergairah, akan memberikan manfaat penting bagi hidup manusia. Maka sorotan sastra sering memperkuat keadaan bumi yang fungsional. Glotfelty (1996:6) menyatakan bahwa artikel dia sudah banyak memberikan inspirasi dan komentar berbagai pihak tentang ekokritisme sastra. Dalam konteks ekokritik sastra, ketika penulis mengacu pada ‘kebutuhan hidup’ kita harus bertanya apa yang ia maksudkan dengan kehidupan. Kehidupan manusia itu serba misteri. Dia mengusulkan bahwa ciri khas ‘hidup’ berarti memiliki keinginan dan kemauan.
Dengan keinginan di bidang ekonomi dan budaya berarti ada dua hal-hal yang mendukung konsepsi pikiran tentang pelestarian lingkungan. Dia melihat langkah yang diambil untuk melestarikan lingkungan sebagai tindakan untuk mencapai udara bersih. Itulah hidup, keberadaannya di bumi entah bagaimana mengurusnya. Jika manusia mengurus dirinya sendiri, lalu mengorbankan pihak lain, demi kebutuhan diri yang berlebih-lebihan, seperti udara bersih, tetap kurang bagus. Apakah kita menghilangkan kebutuhan hidup orang lain demi mencapai udara bersih, harus dipertimbangkan. Dalam jejak langkah ekokritik sastra hal semacam ini akan muncul dalam teks. Teks sastra tidak akan bisu terhadap keadaan lingkungan.


4.    Ekokritik Sastra Terapan
4.1  Terapan Ekokritik Dalam Puisi
Puisi adalah karya yang paling akrab dengan alam semesta, penyair seringkali menyenggamai alam.  Mereka dengan amat suntuk menjadikan alam sebagai media dan sekaligus ruh karya-karyanya. Dalam konteks puisi Indonesia, D. Zawawi Imron (Mu’in, 2013:3) terlihat akrab dengan alam melalui sejumlah puisinya. Salah satu puisinya yang berjudul “Pemandangan” dijadikan bahan kajian dalam artikel ini:

Pemandangan
Karya: D. Zawawi Imron

Kubiarkan bakau-bakau di rawa itu melanjutkan pesanmu,
Awan jingga, langit jingga, angin jingga dan laut jingga
Riak air yang belas padaku mengiba sepanjang lagu,
Dahan-dahan yang sudah mati kembali menari-nari menyambut embunmu senjahari

Di tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat ingin kesana
Tepi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai
Dengan keharuan, mungkin kah cukup satu denyutan?

1978

     Dari perseptif teori Universe-nya Abrams, puisi di atas dapat ditinjau dari 4 (empat) sudut pandang: ekspresif, mimesis, obyek, dan pragmatis. Dua sudut pandang di antaranya, yakni: ekspresif dan mimesis, digunakan untuk menanggapi puisi di atas. Sebelum menulis puisi, dalam perspektif ekspresif, penyair tentu sudah memiliki ide atau gagasan yang akan disampaikan melalui puisinya. Ide atau gagasan itu tentu dapat melalui pengamanan terhadap lingkungan sekitarnya. Banyak hal yang telah dapat diamati. Namun, dalam kaitan dengan puisi di atas, alam merupakan hal yang paling manarik. Penyair ini menjadikan alam sebagai medium untuk menyampaikan gagasannya kepada pembaca atau lawan tuturnya. Diksi yang digunakan berkaitan dengan istilah-istilah alam untuk lingkungan pantai seperti bakau, laut, rawa, awan, dahan, angin, air embun, senjahari, dan cahaya. Benda-benda ini seolah sebagai makhluk hidup yang mampu berinteraksi dan sekaligus menyampaikan keluh kesahnya kepada manusia.
Kajian yang dilakukan Mu’in (2013) demikian sudah sangat tepat. Puisi yang dia hadapi secara kebetulan memang jelas melukiskan alam. Penyair pun amat lembut melukiskan keadaan alam. Pengkaji bebas memaknai puisi itu dapat ditinjau dari pespektif apa pun. Maka tidak salah apabila secara umum, puisi di atas berbicara tentang pemandangan di pantai yang dihadirkan dengan penutur tunggal. Secara khusus puisi itu menceritakan bagaimana dia (penutur) tersebut berinteraksi dengan alam “Kubiarkan bakau-bakau di rawa itu melanjutkan pesanmu”, seolah penutur ini mengetahui bahwa bakau-bakau yang telah rusak itu meminta bantuan kepadanya dan manusia umumnya untuk memelihara bakau-bakau itu. “Riak air yang belas padaku mengiba sepanjang lagu….” Menyiratkan bahwa air laut pun tidak tinggal diam, yang dengan riaknya meminta agar manusia memelihara hutan bakau, bukan membiarkan atau bahkan merusaknya.
Secara mimesis, puisi ini merefleksikan adanya banyak kerusakan alam. Secara faktual, kerusakan alam terjadi di mana-mana. Pembabatan hutan secara liar terjadi dengan maraknya. Kebakaran hutan selalu menghiasi bumi pertiwi di kala kemarau tiba; sebagai akibatnya kesediham dan kesengsaraan menimpa sebagian anak negeri. Penyakit ISPA (inspeksi saluran pernapasan) merepa dinding-dinging alat pernapasan di dalam dada mereka. Hutan bakau yang juga penting bagi keseimbangan ekologi pantai, juga mengalami kerusakan. Rusak karena sengaja atau tidak sengaja. Rusak karena sengaja sering terjadi; hutan bakau diganti dengan bangunan demi keuntungan ekonomi. Rusak karena ketidaksengajaan manusia-manusia di sekitarnya yang tidak memiliki kepedulian terhadap hutan bakau. Pemandangan di pantai yang seharusnya indah, mulai kehilangan keindahannya dan kesejukannya.
Dari sudut pandang mimesis, puisi yang berjudul pemandangan dapat dikatakan sebagai refleksi dari lingkungan alam yang mulai rusak. Secara ekokritik, penyair puisi ini mengetahui bahwa lingkungan alam, khsususnya pantai dengan segala aspeknya, banyak mengalami kerusakan. Kerusakan lingkungan alam ini dapat disebabkan karena adanya pembiaran oleh manusia, atau justru karena adanya perusakan oleh manusia secara sengaja; misalnya hutan bakau itu di babat untuk kepentingan pembangunan. Kerusakan alam akibat perlakuan manusia dengan cara ini mengacu pada kerusakan alam. Sedangkan kerusakan alam yang kesengajaan dapat saja akibat adanya pembiaran lingkungan alam; manusia yang di sekitar lingkungan alam itu tidak melakukan pemeliharaan terhadap lingkungan alam. Baik kerusakan lingkungan alam akibat kesengajaan maupun tanpa kesengajaan, fakta yang ada di mana-mana menunjukkan bahwa banyak lingkungan alam mengalami kerusakan.

4.2  Terapan Ekokritik Dalam Cerpen
Cerpen itu karya yang pendek, dibaca sekali duduk selesai. Cerpen termasuk karya yang sering peduli lingkungan. Banyak cerpen yang memuat tokoh-tokoh pemerhati dan perusak lingkungan. Cerpen yang melukiskan lingkungan sudah amat banyak. Maka kajian ekokritik sastra terhadap cerpen jauh lebih menarik. Dewi (2015:1) sudah mencoba meneliti cerpen menggunakan ekokritik sastra. Cerpen-cerpen Indonesia yang dia baca, ternyata banyak menyuarakan konteks ekologis. Menurutnya, memang cocok menerapkan ekokritik sastra dalam sebuah cerpen, sebab ekokritik sastra sudah semakin subur. Di beberapa Perguruan Tinggi yang mengelola sastra memang sudah mulai ada yang membuat skripsi, tesis, dan disetasi menggunakan kaca pandang ekokritik sastra. Keadaan ini memang sangat menggembirakan, sebab jagad ekokritik akan segera dikenal secara halus.
Kajian ekokritik banyak memahami kondisi lingkungan. Yang dimaksud lingkungan adalah eksistensi bumi. Bumi diduga sudah mengalami krisis ekologis. Krisis ekologi dan dampak pencemaran lingkungan makin mencengkram perhatian dunia saat ini, perilaku manusia terhadap alam dan eksploitasi besar-besaran terhadapnya telah mendorong dunia menuju keruskan ekologis yang berkepanjangan sekaligus mengancam keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Lebih-lebih jika diperhitungkan dimensi sosial-ekonomi dan konsekuensi psikologis dari krisis lingkungan tersebut, tampak nyata bahwa kaum miskinlah yang paling dirugikan. Indonesia, misalnya merupakan salah satu negara yang didera krisis ekologi akibat pembalakan hutan dan polusi air.
Sayang sekali kajian sastra tentang lingkungan hidup di Indonesia masih terbatas karena hal ini berkaitan dengan ketebatasannya pula karya sastra bersperspektif ekologi. Terdapat berbagai imajinasi alam di dalam karya sastra. Kritik lingkungan hidup merupakan representasi yang paling radikal dibandingkan dengan pujian terhadap keindahan alam seperti dalam puisi atau novel beraliran romantisme ataupun hujatan atas kekejaman alam (terhadap manusia) yang tampak pada karya sastra bermazhab naturalisistis-realis/deterministis.
Dalam cerita pendek “Kering” karya Wa Ode Wulan Ratna (2006), pembalakan hutan di Pekanbaru menjadi persoalan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh dalam cerita tersebut. Suryaningsih (2013) membaca dominasi patriarki atas alam dan perempuan pada cerpen ini. Penelitian Wiyatmi (2014) atas novel Amba karya Laksmi Pamuncak, misalnya menunjukkan bahwa eksploitasi yang dilakukan rejim pemerintah (Orde Baru) tidak hanya berdimensi politisi tetapi juga ekonomis dan kapitalis, di mana kakayaan alam Pulau Buru seperti tambang minyak, pohon kayu putih dan yang lainya menjadikan pulau tersebut surga bagi para investor asing. Melalui pembacaan ekokritik, terlihat ada wilayah ekonomi-politik yang disembunyikan dibalik penggambaran Pulau Buru yang sengaja dikontruksikan oleh penguasa. Pembacaan berwawasan lingkungan semacam ini amat diperlukan untuk memperkaya kajian sastra tanah air.

4.3  Terapan Ekokritik Dalam Novel
Novel adalah fiksi yang banyak melukiskan lingkungan. Tak ada novel yang tidak terkait dengan lingkungan. Novel absurd pun tetap terkait dengan lingkungan. Oleh sebab itu ekokritisme tepat diterapkan untuk memahami novel. Quick (2004:1) menyatakan bahwa ekokritisme adalah istilah umum untuk analisis sastra diinformasikan oleh ekologi atau kesadaran lingkungan (Marshall). Novel banyak menampilkan lingkungan yang pantas dibaca dengan sadar ekologis. Hal ini berarti pengkaji ekokritik novel akan mempelajari hubungan antara sastra dan alam melalui berbagai pendekatan memiliki sedikit kesamaan selain keprihatinan bersama dengan lingkungan.
Novel Anak Bajang Mengiring Angin karya Sindhunata, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Tour, Donyane Wong Culika karya Suparta Brata, layak dibedah dari ekokritik sastra. Ekokritisme paling tepat diterapkan untuk karya-karya novel agar terungkap berbagai pendidikan karakter. Ketika interaksi yang signifikan terjadi antara penulis dan tempat, karakter dan tempat akan selalu hadir secara estesis. Landscape dengan definisi mencakup unsur-unsur non-manusia tempat-batuan, tanah, pohon, tanaman, sungai, hewan, air-serta manusia persepsi dan modifikasi sering menjadi tumpuan novelis berimajinasi.

4.4  Terapan Ekokritik Sastra Lisan
Sastra lisan adalah karya yang anonym, tetapi tetap bermakna. Sastra lisan. Sastra lisan seperti halnya pantun (parikan), wangsalan, dongeng, seringkali dipadukan dalam bentuk folklore. Bartlett (Ahmadi, 2012:1) menyatakan, pada  dasarnya sastra lisan adalah sastra yang didengarkan. Permainan pantun atau berbalas pantun sering mengungkapkan lingungan sekitarnya. Eko-sastra lisan akan menjawab segala hal yang terkait dengan kelisanan. Puisi lisan seperti teka-teki; bapak pocung pasar mlathi kidul Denggung, kricak lor Negara, pasar gedhe loring Loji menggok ngetan kesasar neng Gandamanan. Lagu lisan ini melukiskan lingkungan topografi di wilayah Yogyakata.
Eco-sastra lisan dapat diterapkan pada aneka ragam sastra lisan. Sastra lisan yang berkembang luas di negeri ini adalah pantun. Pantun kentrung misalnya, menurut Hutomo (1993:1) banyak menawarkan halihwal kejadian lingkungan. Daya kritis seorang pelantun kentrung, sering mengkritisi keadaan lingkungan. Djojosuroto (2013:87) sudah mengkaji pantun Menado dikaitkan dengan ekokritik sastra. Dia mencoba menggali pesan-pesan tersembunyi dalam pantun. Menurutnya, prinsip-prinsip eko-sastra memuat konsep: (1) Eco-sastra adalah karya sastra yang berbicara dan berdiskusi tentang bumi, alam, dan lingkungan, (2) Eco-Sastra adalah karya sastra (puisi dan prosa) yang memberikan pemahaman bagi pembaca untuk tidak membuang sampah sembarangan, (3) Eco-sastra baik puisi atau prosa sastra yang memberikan kesadaran kepada setiap pembaca untuk mencintai bumi dengan sepenuh hati, dan (4) Eco-sastra adalah karya sastra yang mengimbau setiap warga dunia untuk melestarikan alam dan isinya untuk pelestarian bumi.
Prinsip tersebut amat penting dipegang teguh ketika hendak mengkaji sastra dari perspektif ekokritik sastra. Yang paling urgen bahwa eko-sastra adalah karya sastra puisi (lisan) yang banyak memuat pesan bumi dan lingkungan. Maskud pantung demikian adalah memberi pengertian kepada pembaca agar bertindak bijak pada bumi dan lingkungan.

Contoh lain dari pantun kerusakan alam:
Kalau ingin melanglang buana 
jangan memandang fatamorgana
lingkungan rusak dimana-mana 
kesadaran manusia hanya wacana
                               

                   Meskipun dirusak, tetapi bumi selalu diproduksi untuk tanaman, produk pertambangan untuk kesejahteraan manusia. Meski selalu di cukur dan isi tubuhnya yang diambil, bumi selalu memberikan manfaat dan keindahan. Hal ini tidak mudah untuk mengubah kebiasaan yang telah membantu. Namun, kami dapat secaraa bertahap mengasah kepekaan kami baik melalui puisi atau prosa dan eco-literatur.
                                        


BAB IV
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan bahwa kritik sastra ekokritik menjadi lahan subur bagi peneliti dan akademisi untuk mengkaji sastra dan lingkungan di Indonesia. Lebih spesifik simpulan makalah ini adalah sebagai berikut.    Pertama, pandangan William Rueckert (1978) sebagai pelopor teori ekokritik yang bermula dari esainya berjudul ―Literature and Ecology: an Experiment in Ecocriticism‖ yang memperkenalkan teori ekologi dalam kaitannya dengan karya sastra. Teori ekologi menurut Rueckert adalah sebagai sains, satu disiplin, asas pandangan manusia yang mempunyai hubungan yang penting di masa kini dan masa dunia, termasuk disiplin ilmu lainnya. Para pemikir utama ekokritik tersebut dapat diserap gagasan tentang diskursus dan implikasinya dalam kritik atas manusia dan lingkungannya. Meskipun diketahui bahwa pemikiran ekokritik yang dikemukakan oleh Buell (1995) hampir sama dengan definisi Glotfelty dan Fromm (1996), tetapi Buell lebih menekankan pada kritik terhadap alam sekitar. Hasil kajian Rueckert (1978) dan Love (1996; 2003) lebih menghadirkan sastra dan wujud lingkungan fisik, baik sebagai sains--udara, tanah, angin, hutan—disiplin ilmu lainnya, makhluk binatang maupun pertumbuhan manusia itu sendiri dengan lingkungannya. Pandangan Garrad (2004) lebih menekankan konsep lingkungan yang tampak mata dan kerusakan lingkungan akibat manusia dan alam itu sendiri.    Kedua, paradigma ekokritik lebih berorientasi pada kerusakan atau krisis ekologi; ekologi yang terpusat pada organisme atau spesies yang menyesuaikan dengan lingkungan dan pada kelompoknya (hubungan manusia dengan manusia serta alam); konsep makhluk hidup yang berinteraksi dengan makhluk lainnya dalam suatu lingkungan; dan berpandangan pada etika antroposentrisme. Paradigma kajian ekokritik dapat ditelisik melalui karya sastra yang berhubungan dengan alam/lingkungan.   Ketiga, sebagai metode dan praktik pembacaan teks sastra, ekokritik dapat diterapkan dengan metode interdisipliner yang dapat dikaitkan dengan bidang ilmu lainnya, misalnya teori ekologi melahirkan teori romantisme, teori ekologi dan ilmu politik menjadi ekopolitik (ecopolitics), teori ekologi dan teori kapitalisme menjadi ekokapitalisme (ecocapilism), teori feminisme dan teori sastra menjadi ekofeminisme (ecofeminism), teori poskolonial dan teori ekokritik menjadi poskolonial ekokritik (postcolonial ecocricism atau ecoimperalism), dan teori ekologi dan teori tanggapan pembaca melahirkan toei ekoresepsi pembaca. Metode dan praktik kritik ekokritik dapat pula diterapkan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan wacana dan pendekatan realita.    Keempat, teori ekokritik dapat diberlakukan dengan teori representasi dalam relasinya dengan kajian sastra. Representasi teori ekokritik yang dikemukakan oleh para pakar ekokritik bahwa studi sastra dan ekologi sebagai sebuah interdisiplin ilmu yang memungkinkan untuk menganalisis lingkungan dan mencari solusi dari persoalan ekologi dalam konteks kesusastraan. Oleh karena itu, adanya kritik sastra ekologi dapat dipahami sebagai bagian pembacaan kritis dan formula kritik sastra di Indonesia. 





DAFTAR PUSTAKA


Endraswara, Suwardi. 2016. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: CAPS.

Endraswara, Suwardi (Ed.). 2016. Sastra Ekologi: Teori dan Praktik Pengkajian. Yogyakarta: CAPS.

Garrad. Greg. 2004. Eccocritism. London and New York: Routledge, 2004. ISBN 0-415-19672-2. Kate Rigby, Monash University.


Harsono, Siswo. 2008. “Ekokritik: Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan” Semarang: Kajian Sastra; Jurnal Kebahasaan dan Kesusastraan.

Minggu, 10 Desember 2017

Struktural Bahasa

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Pada waktu-waktu terakhir ini makin dirasakan betapa pentingnya fungsi bahasa sebahai alat komunikasi. Kenyataan yang dihadapi waras ini adalah bahwa, bahasa sebagai alat komunikasi dan memperhatikan wujud bahasa itu sendiri, kita dapat membatasi pengertian bahasa sebagai: bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada orang yang berkeberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka itu menunjukkan bahwa dua orang atau pihak dapat mengdakan komunikasi dengan menggunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya, sejak lama telah dipergunakan untuk mengadakan komunikasi antara anggota masyarakat. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi sebagai disebut tadi mengandung banyak segi yang lemah. Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan komplit daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Dewasa inu sangat sulit bagi kita untuk mengetahui asal dan perkembangan kebudayaan umat manusia yang begitu kompleks tanpa bahasa. Walaupun asap api, bunyi gendang dan sebagainya dalam keadaan yang sangat terbatas dapat digunakan untuk berkomunikasi, tetapi semuanya bukanlah bahasa. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah berupa simbol atau perlambang.
Konsep teori linguistik lebih mengacu kepada seperangkat hipotesis yang menggunakan landasan filosofis tertentu yang dipakai menganalisis fenomena bahasa. Adapun mengenai konsep aliran linguistik lebih mengacu kepada suatu paham atau teori yang diyakini kebenarannya oleh sekelompok ahli bahasa yang secara patuh dan bahkan sampai ke taraf fanatik dalam pemikiran mereka.
Begitu banyaknya aliran linguistik serta cabang-cabangnya maka dari itu selain tugas mata kuliah teori bahasa disini penulis akan membahas mengenai struktural.


1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian aliran linguistik struktural?
2.      Bagaimakah latar belakang munculnya aliran linguistik struktural?
3.      Apa saja karakteristik aliran linguistik struktural dan analisis bahasanya?
4.      Apakah keunggulan dan kelemahan aliran linguistik struktual?

1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mendeskripsikan pengertian aliran linguistik struktural
2.      Mendeskripsikan latar belakang munculnya aliran linguistik struktural
3.      Mendeskripsikan karakteristik aliran linguistik struktural dan analisis bahasanya
4.      Mendeskripsikan keunggulan dan kelemahan dari aliran linguistik struktural


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Aliran Struktural
Struktur adalah makna yang terbentuk karena penggunaan kata dan kaitannya dengan tata bahasa. Struktural muncul akibat hubungan antara satu unsur bahasa yang satu dengan unsur bahasa yang lain. Struktur terdiri atas segmen atau konstituen dari suatu tuturan. Sebaliknya, sistem terdiri dari unsur-unsur yang dapat, atau tidak dapat, mengganti salah satu konstituen dalam struktur. Dalam linguistik biasanya tidak ada kesulitan dengan kedua istilah “struktur” dan “sistem” itu, kecuali satu: bahwa “struktur” acap kali tidak diartikan hanya sebagai susunan dari kiri ke kanan saja (jadi dengan tidak mencakup “sistem”) melainkan dalam arti yang mencakup baik “struktur” maupun “sistem”. Misalnya bila kita berbicara tentang “struktur bahasa X”, maksudnya tidak hanya susunan struktur (misalnya, susunan beruntun Subjek, Verba dan Objek), tetapi juga sistem bahasa tersebut (misalnya, paradigma nominal dan verbal). Pendek kata istilah “struktur” dapat dipakai secara “inklusif” (mencakup sistem juga) dan secara “ekslusif”. Biasanya pemakaian istilah “struktur” secara inklusif tidak menimbulkan masalah. Tetapi untuk mengaji bahan tertentu memang “struktur” dan “sistem” perlu dibedakan.
Dalam pengajaran bahasa teori struktural melahirkan metode langsung dengan pendekatan oralnya (oral approach). Apabila di dalam aliran Tradisional orang masih mengacaukan pengertian bahasa dan tulisan serta bunyi dan huruf, maka dalam teori struktural masalah tersebut telah terpecahkan. Bahasa benar-benar dibedakan dengan tulisan sedangkan bunyi/fonem benar-benar dibedakan dengan huruf. Unsur bahasa terkecil adalah fonem/bunyi, sedangkan unsur tulisan terkecil adalah huruf.
Bahasa juga berupa sistem tanda menurut Aliran Struktural, bahasa dapat didefinisikan dengan ciri sistem, bahasa bersifat sistematik dan sistemik. Bahasa bersifat sistematik karena mengikuti ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Bahasa juga bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem atau subsistem-subsistem. Misalnya, subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, sematik dan leksikon.


2.2 Latar Belakang Lahirnya Aliran Linguistik Struktural
1.  Munculnya aliran Struktural di Eropa
            Aliran struktural ini lahir pada awal abad XX atau tepatnya tahun 1916. Tahun tersebut menjadi tahun monumental lahirnya aliran linguistik struktural, sebab pada tahun itu terbit sebuah buku berjudul ‘Course de Linguistique Generale’ karya Saussure yang berisi pokok-pokok teori struktural yang juga sebagai pokok-pokok linguistik modern. Sebelumnya teori linguistik belum bisa beranjak dari teori tradisonal. Kehadiran karya Saussure ini benar-benar dirasakan sebagai suatu revolusi. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila Saussure digelari Bapak Strukturalisme dan sekaligus Bapak Linguistik Modern.
            Buku ‘Course de Linguistique Generale’ sendiri pada dasarnya bukan tulisan de Saussure, melainkan karya dua orang mahasiswanya, yakni: Bally dan Sachahaye. Memang buku tersebut ditulis berdasarkan catatan-catatan kuliah dari de Saussure yang kemudian dikumpulkan dan diedit menjadi sebuah buku sebagai hadiah/kenang-kenangan 1000 hari meninggalnya sang guru (de Saussure meninggal tahun 1913).
            Secara historis, gagasan-gagasan de Saussure dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
a.       De Saussure memformalisasikan dan mengeksplisitkan apa yang di asumsi kan atau diabaikan oleh pakar-pakar linguistik sebelumnya yaitu, dua dimensi mendasar dan essensial dari kajian linguistik sinkronik yang memperlakukan bahasa-bahasa sebagai sistem lengkap komunikasi pada suatu saat tertentu dan diakronik memperlakukan faktor-faktor pengubah yang mempengaruhi bahasa pada suatu kurun waktu terrtentu. De Saussure berhasil membedakan kedua dimensi ini, yaitu dimensi sinkonik atau deskriptif, dan dimensi diakronik atau historis, karena masing-masing melibatkan metode-metode dan azas-azasnya sendiri  serta memiliki esensial kajian linguistik yang memadai.
b.      De Saussure membedakan kompetensi linguistik penutur dengan peristiwa sebenarnya. Atau data linguistik (ujaran), sebagai langue dan parole. Parole meliputi data yang langsung bisa diperoleh, sedangkan objek pakar linguistik yang sebenarnya adalah langue dari setiap-tiap masyarakat, yaitu leksikon, tata bahasa, dan fonologi yang tertanam dalam diri masing-masing orang berdasarkan langue dia bertutur dan memahami bahasanya.
c.       De Saussure menunjukkan bahwa setiap langue harus dilihat dan dideskripsikan secara sinkronik sebagai suatu sistem unsur-unsur yang terkait, yaitu unsur leksikal, gramatikal, dan fonologis.
Pernyataan tentang pendekatan struktural terhadap bahasa secara praktik mendasari keselurahan dari linguistik modern dan membenarkan pernyataan Saussure tentang kemandirian linguistik sebagai bidang kajian yang berdiri sendiri.

2. Munculnya aliran Struktural di India
            Munculnya aliran struktural di India jauh lebih awal dari munculnya aliran struktural di Eropa. Di India aliran struktural lahir sejak empat abad sebelum masehi, yakni sejak lahirnya karya Panini yang berjudul ‘Vijakarana’. Buku tersebut merupakan buku tata bahasa Sansakerta yang sangat mengagumkan dunia linguistik. Pada zaman yang sedini itu bahasa Sansakerta (teristimewa fonologinya) telah dideskripsikan secara lengkap dan cermat. Sayangnya buku itu teramat sulit bagi orang awam. Atas dasar itu seorang murid Panini yang bernama Patanjali terpaksa harus menyusun tafsir atau penjelasanya yang diberi judul ‘Mahabhasa’.
            Karya Panini tersebut pada dasarnya disusun atas dorongan atas motivasi religius. Pada zaman itu para Brahmana dan Brahmacarin dalam mengajarkan dan mengamalkan kitab Veda kepada para pengikutnya selalu dilakukan secara lisan. Lafat atau ucapan senantiasa dijaga. Kesalahan pengucapan sedikit saja makna mantra sudah berbeda dan hal ini dapat mengakibatkan petaka. Itulah sebabnya sang Brahmana menyusun deskripsi fonologi bahasa Sansakerta secermat mungkin. Hasilnya sungguh mengagumkan. Orang-orang Barat (ahli bahasa Eropa) mengenal deskripsi fonologi pada awal abad XX setelah konsep Saussure dikembangkan, dan ternyata tertinggal duapuluh empat abad dengan apa yang dicapai oleh para Brahmana dan sekaligus oleh ahli bahasa di India.
           
2.3 Karakteristik aliran Struktural dan analisis bahasa dalam linguistik
1. Berdasarkan Pada Faham Behaviorisme
            Sejalan dengan faham behaviorisme, proses berbahasa sebagaimana tingkah laku yang lain merupakan suatu proses rangsang-tanggap (stimulus-response). Setiap manusia berujar pada dasarnya merupakan respons dari suatu stimulus. Stimulus ada kalanya berupa ujaran, ada kalanya berupa isyarat dengan gerakan anggota badan (gesture), ada kalanya pula berupa situasi.

2. Bahasa berupa ujaran
            Ciri ini menunjukkan bahwa yang berupa ujaran saja yang dapat disebut bahasa. Bentuk-bentuk perwujudan yang selain ujaran tidak dapat digolongkan bahasa dalam arti yang sebenarnya, termasuk juga tulisan. Dalam pengajaran bahasa teori struktural melahirkan metode langsung dengan pendekatan oralnya (oral approach).
            Apabila di dalam aliran Tradisional orang masih mengacaukan pengertian bahasa dan tulisan serta bunyi dan huruf, maka dalam teori struktural masalah tersebut telah terpecahkan. Bahasa benar-benar dibedakan dengan tulisan sedangkan bunyi/fonem benar-benar dibedakan dengan huruf. Unsur bahasa terkecil adalah fonem/bunyi, sedangkan unsur tulisan terkecil adalah huruf.
            Tulisan (atau yang lazim disebut bahasa tulis) statusnya sejajar dengan gesture, lampu lalu lintas, morse, semaphore, kenthongan, dan sebagainya, yaitu sebagai bentuk atau perwujudan lain dari bahasa. Bahasa yang sebenarnya berupa ujaran. Perwujudan bahasa dengan pertolongan huruf disebut ‘tulisan’, perwujudan bahasa dengan pertolongan gerakan tangan/anggota disebut gesture, perwujudan bahasa dengan pertolongan gerakan bendera disebut ‘semaphore’ dan perwujudan bahasa polisi lalu lintas dengan pertolongan sinar lampu merah kuning hijau disebut traffic light atau lampu lalu lintas.

3. Bahasa berupa sistem tanda
            Menurut aliran struktural, bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitreryang konvensional. Berkaitan dengan ciri sistem, bahasa bersifat sistematik dan sistemik. Bahasa bersifat sistematik karena mengikuti ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur. Bahasa juga bersifat sistemik karena bahasa itu sendiri merupakan suatu sistem atau subsistem-subsistem. Misalnya, subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikon. Berkaitan dengan ciri tanda, bahasa pada dasarnya merupakan paduan antara dua unsur yaitu signifie dan signifiant (Saussure, 1974:114). Signifie adalah unsur bahasa yanga berada dibalik tanda yang berupa konsep didalam benak si penutur. Orang awam menyebutnya sebagai makna. Sedangkan signifiant adalah unsur bahasa yang merupakan wujud fisik atau yang berupa tanda ujar. Dalam pengertian ini wujud fisik harus atau hanya yang berupa bunyi ujar. Bunyi non ujar dan tanda yang lain selain bunyi ujar tidak dapat digolongkan signifiant. Wujud ujaran sesorang individu pada suatu saat tertentu disebut parole, sedangkan sistem yang bersifat sosial disebut language. Paduan antara parole dan language disebut langage.
            Selain hal yang telah dikemukan diatas, bahasa juga mempunyai ciri arbitrer yakni hubungan yang sifatnya semena-mena antara signifie dan signifiant atau antara makna dan bentuk. Kesemena-menaan ini dibatasai oleh kesepakatan antar penutur. Oleh sebab itulah, maka bahasa juga memilik ciri konveksional. Ciri kesepakatan antar penutup (konveksional) ini secara implisit sudah mengisyaratkan bahwa fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sosial juga diatur dalam suatu konveksi tersebut. Fungsi bahasa ini secara khusus akan dibicarakan pada bab tersendiri.
            Sebagai suatu bukti bahwa bahasa bersifat arbitrer dan konveksional dapat dikemukan contoh berikut ini. Sebuah tuturan (yang diucapkan oleh seorang pemuda kepada seorang pemudi) : “nanti malam kita nonton film di Permata” merupakan suatu tuturan yang bersistem, dan sistem tersebut telah diketahui (disepakati) oleh kedua belah pihak. Namun untuk maksud tertentu, misalnya agar kerahasiaan kencan mereka berdua itu tetap terjaga, maka si pemuda dapat merubah sistem bahasa secara semena-mena (sudah barang tertentu harus mendapat kesepakatan dari lawan kencannya). Salah satu sistem yang dipilihnya ialah dengan jalan memotong dan menyisakan suku depan selanjutnya ditambah dengan awalan wa. Dengan demikian tuturan itu sekarang akan menjadi: ‘Wanan wamal waki wanon wafil wadi waper’. Walaupun sistem bahasa tersebut telah berubah dengan semena-mena, namun komunikasi sosial tetap berlangsung dengan baik, sebab telah ada perjanjian atau kesepakatan terlebih dahulu.
            Beberapa kemungkinan lain untuk mengubah sistem:
(a)    Menambah sisipan –si pada kata yang sudah dibalik suku katanya:
‘Tisinan lamsima tasiki tonsinon kemsifil sidi Tasiperma’
(b)   Menambahkan akhiran –al pada penggalan suku pertama: ‘Nanal maal kial nonal fial dial Peral’
(c)    Suku pertama disisipi –em: ‘Nerman kemit nemon femil demil Pemer’
Berdasarkan pengertian bahasa seperti yang dikemukakan di depan, maka hanya yang berupa ujaran saja yang dapat disebut. Bentuk-bentuk dan perwujudan lain seperti gerak anggota badan, rambu lalu lintas, lampu lalu lintas, morse, bunyi kenthingan, tepukan tangan dan tulisan pada hakikatnya tidak dapat disebut bahasa dalam arti yang sebenarnya. Kesemuaanya disebutkan tadi hanyalah merupakan bentuk lain atau perwujudan lain dari bahasa yang sebenarnya, sebab bahasa yang sebenarnya hanya berupa ujaran, dengan demikian, isyarat dengan gerakan anggota badan (gesture) merupakan perwujudan lain dari bahasa yang sebenarnya dengan menggunakan gerakan anggota badan. Gerakan anggota badan yang hanya menyertai tindak berbahasa (kinesik) sama sekali bukan bahasa. Rambu lalu lintas merupakan perwujudan lain dari bahasa yang sebenarnya dengan menggunakan media gambar pada papan rambu. Lampu lalu lintas merupakan perwujudan lain dari bahasa yang sebenarnya dengan menggunakan media sinar lampu merah, kuning dan hijau. Morse merupakan perwujudan lain dari bahasa yang sebenarnya dengan menggunakan media sinar lampu dan bunyi nonujar. Semaphore merupakan perwujudan lain dari bahasa yang sebenarnya dengan menggunakan media lambaian bendera. Isyarat bunyi kenthongan dan tepukan tangan merupakan perwujudan lain dari bahasa yang sebenarnya dengan menggunakan media bunyi nonujar.
Dari contoh-contoh perwujudan lain dari bahasa yang sebenarnya itu, maka tulisan (istilah awam ‘bahasa tulis’) juga tidak dapat digolongkan bahasa dala arti yang sebenarnya, melainkan sekedar perwujudan lain dari bahasa yang sebenarnya dengan menggunakan media huruf. Yang didalam istilah awam ‘bahasa lisan’ itulah yang disebut bahasa dalam arti yang sebenarnya.

4. Bahasa merupakan faktor kebiasaan (habit)
            Ciri ini dipertentangkan dengan ciri teor transformasi yang beranggapan bahwa bahasa bukan faktor kebiasaan melainkan berupa faktor warisan (innate). Aliran sturktural berkeyakinan bahwa teorinya itu benar dan dapat memberikan bukti yang meyakinkan. Bukti yang dikemukan itu ialah bukti cerita tentang seseorang yang dibesarkan oleh sekelompok serigala. Orang tersebut sama sekali tidak dapat berbahasa, yang ia kenal hanyalah suara atau lolongan serigala saja, sehingga akhirnya hanya melolong seperti serigala saja yang dapat dilakukannya. Cerita yang konon terjadi di negeri India ini merupakan faktor kebiasaan. Walaupun manusia mempunyai warisan (innate) untuk berbahasa, namun tanoa dibiasakan atau dilatih mustahil ia dapat berbahasa
            Berkaitan dengan sistem habit ini di dalam pengajaran bahasa diterapkan metode drill and practice, yakni suatu bentuk latiha  yang terus-menerus dan berulang-ulang sehingga akhirnya akan membentuk suatu kebiasaan. Sayangnya bentuk latihan semacam ini sangat menjemukan.
5. Kegramatikalan berdasarkan keumuman
            Ciri ini sebenarnya sejalan dengan ciri diatas. Bentuk dan struktur bahasa yang sudah biasa dipakai atau yang sudah umum sajalah yang dinilai sebagai bentuk yang gramatikal. Bentuk-bentuk yang secara kaidah sebenarnya betul akan tetapi belum dipakai atau belum umum, maka bentuk tersebut terpaksa dinyatakan sebagai bentuk yang tidak gramatikal. Dengan demikian standar yang dipakai adalah standar keumuman.
            Hal tersebut sangat bertentangan dengan aliran Tradisional yang menyatakan bahwa kegramatikalan berdasarkan kriteria kaidah atau norma secara ketat dan taat asas. Sebagai contoh: kata kabupaten. Menurut aliran struktural bentuk kata kabupatian dinyatakan tidak gramatikal karena tidak lazim atau tidak umum dipakai, yang lazim dipakai adalah kata kabupaten. Jadi bentuk yang salah atau yang tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa dapat dinyatakan gramatikal asalkan sudah lazim. Jadi dalam aliran struktural semboyan ‘yang benar adalah benar, yang salah adalah salah’ tidak berlaku.

6. Level-level Gramatikal ditegakkan secara rapi
            Level-level gramatikal mulai ditegakkan dari level terendah berupa morfem sampai level tertinggi yang berupa kalimat. Secara berturut-turut level atau tataran gramatikal tersebut adalah morfem, kata, frase, klausa dan kalimat. Tataran diatas kalimat belum terjangkau oleh aliran ini. Morfem dan kata merupakan cakupan bidang morfologi, sedangkan frase, klausa dan kalimat merupakan cakupan bidang sintaksis. Morfologi dan sintaksis merupakan dua bidang yang berdiri sendiri, walaupun masih tetap berhubungan oleh bidang morfosintaksis.

7. Analisis dimulai dari bidang Morfologi
            Analisis struktural memulai analisis dari bidang morfologi karena memang bidang ini paling mendapat perhatian. Nida (1949) dengan karyanya ‘Morphology, the Descriptive Analysis of Word’ telah menjadi acuan bagi dunia morfologi karena sumbangan dalam meletakkan prinsip-prinsip analisis morfologi dengan data dari berbagai bahasa.

8.    Bahasa merupakan deretan Sintakmatik dan Paradignatik
(a)    Deretan Sintakmatik
            Deretan sintakmatik adalah suatu deretan unsur secara horisontal. Deretan sintakmatik ini terjadi dalam segala tataran fonem-fonem segmental secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar baik berupa silabel maupun morfem. Prosede semacam ini dinamakan fonotaktik. Morfem-morfem serta sintakmatik membentuk struktural yang lebih besar yakni kata. Prosede semacam ini dinamakan prosede morfologis. Kata-kata secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar yakni frase. Frase-frase secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar yakni klausa. Akhirnya klausa-klausa secara sintakmatik membentuk struktur yang lebih besar yakni kalimat. Tiga prosede yang terkahir itu dinamakan prosede sintaksis.
(b)   Deretan Paradigmatik
Deretan paradigmatik adalah deretan struktur yang sejenak secara vertikal.
Contoh: (bahasa Spanyol)
            elgatbestaaki                                                                           kucing itu ada di sini
            ungatoestaaki                                                                          seekor kucing ada di sini
            elgatoestaenfermo                                                                   kucing itu sakit
            ungatoestaenfermo                                                                  seekor kucing sakit
…………………………………………………………………………………………………………………...
            gato                                                                                         kucing 

9.   Analisis bahasa secara Deskriptif
Menurut alira struktural analis bahasa harus didasarkan atau kenyataan yang ada. Data bahasa yang dianalisis hanyalah data yang ada pada saat penelitian dilakukan. Unsur historis sama sekali diabaikan. Analisis semacam ini bertolak dari pendekatan sinkronik. Semboyannya adalah describe the fact, all the fact and nothing but the facts.

10.  Analisis struktural bahasa berdasarkan unsur langsung
Yang dimaksud dengan unsur langsung adalah unsur yang setingkat lebih rendah yang secara langsung membentuk struktur tersebut. Unsur langsung ini disebut juga immediate constutuens (I.Cs.) atau unsur bawahan terdekat (UBT). Paling tidak ada empat model analisis unsur langsung teesebut, yakni model Nida, model Hockett, model Nelson, dan model Wells.
Contoh analisis tataran frase: a beautiful girl
a.  Model Nida: a beautifulgirl
 


b.Model Hockett:  a   beautiful   girl
                                    beautiful girl
                               a  beautiful  girl

c.Model Nelson: {(a) [(beautiful) (girl)}
d. Model Wells:
 


            a          beautiful          girl


2.4 Keunggulan dan kekurangan aliran linguistik struktural
a.       Keunggulan
(1)          Aliran ini telah sukses membedakan konsep grafem dan fonem.
(2)          Dengan adanya metode drill and practice, suatu bentuk latihan yang terus-menerus dan berulang-ulang akan membentuk suatu keterampilan berbahasa berdasarkan kebiasaan.
(3)          Kriteria kegramatikalan berdasarkan keumuman sehingga mudah dipahami dan mudah untuk bisa diterima oleh masyarakat awam.
(4)        Level-level gramatikal mulai ditegakkan secara rapi mulai dari level morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat.
(5)      Aliran ini lebih banyak berpijak pada fakta, tidak pernah mereka-reka data.
b.      Kelemahan
(1)   Pada aliran struktural bidang morfologi dan sintaksis dipisahkan secara tegas. Level-level yang menjadi bidang garapannya sudah ditentukan secara pasti, sehingga apabila di suatu saat ditemukan bidang yang terletak di antara keduanya menjadi kebingungan untuk menentukan wilayah, misalnya pada bahasa-bahasa yang bertipologi sintetik dan polisintetik.
(2)   Metode drill and practice sangat memerlukan ketekunan, kesabaran, dan tentunya sangat menjemukan.
(3)   Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tangggap yang berlangsung secara fisis dan mekanis, padahal manusia bukanlah mesin.
(4)   Menurut paham ini, jiwa seseorang dan hakikat sesuatu hanya bisa dideteksi lewat tingkah laku dan perwujudan lahiriahnya yang tampak. Namun, tidak selamanya setiap tingkah laku dan perwujudan lahiriah yang tampak dapat mencerminkan jiwa seseorang.
(5)   Kegramatikalan berdasarkan kriteria keumuman. Suatu kaidah yang salah sekalipun dapat dinyatakan benar apabila sudah dianggap umum. Sebaliknya kaidah yang benar tidak dapat disebut benar manakala belum umum dipakai.
(6)   Faktor historis sama sekali tidak diperhitungkan dalam analisis bahasa, padahal sangat banyak kasus-kasus kebahasaan yang hanya dapat dijawab lewat kajian historis.
(7)   Objek kajian terbatas sampai dengan level kalimat, sehingga tidak memungkinkan menyentuh aspek komunikatif.

BAB III
PENUTUP
  
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian teori yang saya jabarkan pada halaman-halaman sebelumnya, dapat kami tarik kesimpulan bahwa aliran struktural yang dipelopori oleh beberapa ahli membawa kajian baru bagi ilmu kebahasaan di zamannya untuk mempermudah mengidentifikasi suatu bahasa. Melalui berbagai teori dan patokan tertentu, bahasa dapat diteliti lebih mudah dengan aliran ini. Aliran strukturalis mampu membuktikan bahwa setiap bahasa punya kekhasannya sendiri sehingga perlu dibedakan dan diketahui kekhasan tersebut. Maka, setiap bahasa pun memiliki identitasnya sendiri dan bisa dipelajari lebih mudah dan spesifik. Oleh karena itu, mempelajari aliran strukturalis ini sangat membantu dalam meneliti suatu bahasa tertentu. Karena aliran yang dipelopori oleh Sasussure ini cukup mudah dipahami dan bersifat empiris sehingga bisa disesuaikan dengan sifat bahasa yang ada.

3.2 Saran
Dalam makalah ini penyusun memberi saran kepada pembaca bahwa untuk memperluas wawasan pembaca dalam memahami pengertian aliran struktural dan berbagai macam aliran linguistik serta pemahaman tentang unsur langsung tidaklah hanya berpedoman pada makalah ini, karena masih banyak dari sumber-sumber lain yang menjelaskan tentang berbagai materi di atas. Dan penyusun memohon maaf atas banyaknya kekurangan dan kesalahan dalam penulisan.


BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta: Rheineka Cipta
Robins, R H. 1995. Sejarah Singkat Linguistik Terjemahan Asril Marjohan. Bandung: ITB
Saussure, De Ferdinand. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press: 1993

Soeparno. 2011. Teori Dan Aliran Linguistik. Yogyakarta: Tiara Wacana

Verhaar, M.W.J. 2010. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press